(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=f!=void 0?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(f==void 0)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=e>0?new b(e):new b;window.jstiming={Timer:b,load:p};if(a){var c=a.navigationStart;c>0&&e>=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; c>0&&e>=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.chrome.csi().startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a==null&&window.gtbExternal&&(a=window.gtbExternal.pageT()),a==null&&window.external&&(a=window.external.pageT,d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.external.startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a&&(window.jstiming.pt=a)}catch(g){}})();window.tickAboveFold=function(b){var a=0;if(b.offsetParent){do a+=b.offsetTop;while(b=b.offsetParent)}b=a;b<=750&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Wednesday, May 28, 2008
Sejarah Pertempuran Udara (PD I dan PD II)

Penggunaan pesawat dalam peperangan, semula memang tidak masuk hitungan perencana perang. Keraguan Angkatan Bersenjata Amerika, misalnya, tidak jauh beda dengan kalangan persnya. Namun, ketika sebuah pesawat Bleriot Italia yang diterbangkan Kapten Carlos Piazza mampu mengintai posisi Turki di Tripoli dari udara pada tanggal 23 Oktober 1911, semua kaget. Sejak itu, strategi perang pun mulai berubah. Serangan-serangan kilat menggunakan pesawat terbang, menjadi andalan negara yang berperang. Puncaknya, ketika Jerman menyerbu Polandia dengan taktik yang mereka sebut blitzkrieg. Seni duel di udara pun berkembang, hingga lahir ace mashur dunia.


Tanggal 25 Agustus 1914, sekitar tiga minggu setelah PD I pecah, tiga pesawat RFC Inggris dipimpin Letnan Harvey Kelly, memergoki pesawat Taube Jerman tengah mengintai garis pertahanan Perancis. Ia segera memburu dan terbang persis di belakangnya. Dua rekannya mengapit di kedua sisi. Merasa tidak mungkin melarikan diri, si Jerman mendaratkan pesawatnya, lalu melarikan diri, bersembunyi. Ketiga pesawat Inggris menyusul mendarat, namun tidak menemukan pilot pemberani itu. Karena kesal, mereka bakar pesawat itu, baru terbang lagi.

Itulah cuplikan singkat sekaligus menggelikan. Namun justru adegan geli itu, dicatat sebagai pembuka dari sebuah cerita bersambung peperangan yang akan merembet ke udara, seperti telah berkecamuk di darat dan laut. Dalam PD I, pemakaian pesawat cukup berarti meskipun untuk ukuran kemudian hari dianggap kecil karena lebih merupakan bagian dari pertempuran taktis. Sebelum PD I, pesawat telah dipakai pada tanggal 23 Oktober 1911 untuk pertama kali di medan Libya tatkala sebuah pesawat Bleriot Italia yang diterbangkan Kapten Carlos Piazza, melakukan penerbangan pengintaian terhadap posisi Turki di Tripoli, yang disusul dengan serangan bom.

Namun konsep peperangan udara atau air warfare sesudah PD I berakhir, tidak secepat diperkirakan. Banyak petinggi militer, skeptis terhadap potensi kekuatan udara serta menentang pengembangan doktrin peperangan udara. Sampai menjelang pecah PD II, masih ada sejumlah negara termasuk Amerika Serikat yang belum memiliki Angkatan Udara. Kekuatan udara AS ketika itu masih ditempatkan di bawah Angkatan Darat. USAF baru dibentuk September 1947.

Adalah Jenderal Giulio Douhet dari Italia, Marsekal Sir Hugh Trenchard dari Inggris, dan Brigjen William Mitchell dari AS yang dikenal sebagai perintis doktrin peperangan udara. Berat usaha mereka meyakinkan, bahwa unsur udara bakal berperan dominan dalam perang masa datang. Angkatan Udara, kata mereka, mesti sejajar dengan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Mitchell misalnya, sampai diturunkan pangkatnya karena kevokalannya dalam menyampaikan doktrin kekuatan udara. Padahal ia telah membuktikan, bahwa pesawat terbang dapat menenggelamkan kapal-kapal perang besar dengan serangan bom.

Tetapi kemajuan teknologi penerbangan serta berbagai faktor lain seperti pengalaman berbagai peperangan kecil lainnya di antara kedua perang dunia, menyebabkan doktrin peperangan udara semakin memperoleh pijakan dan pendukung. Perang Dunia II, baik di Eropa maupun Pasifik, semakin membuktikan kebenaran doktrin air warfare. Teori ini terus berkembang dan diterapkan pada berbagai peperangan : Korea, Vietnam, Timur Tengah, Falkland (Malvinas), Perang Teluk, Kosovo, dan banyak lagi sebagaimana kita saksikan dan rasakan.

Perang Dunia I

Hadirnya pesawat terbang, telah mengubah pola peperangan dalam sejarah umat manusia. Pesawat bikinan Wilbur dan Orville Wright, telah menyita perhatian publik Jerman, Perancis, dan Italia. Angkatan Bersenjata Amerika awalnya tidak yakin. Tapi setelah beberapa kali lawatan Wright bersaudara ke Eropa, barulah AB Amerika memberi kesempatan. Sejak unjuk gigi yang diterbangkan sendiri oleh kedua bersaudara ini Orville sempat kecelakaan saat demo di depan petinggi AB Amerika 17 September 1908 yang menewaskan penumpangnya Letnan Selfridge, kecelakaan fatal pertama dalam sejarah penerbangan modern penggunaan pesawat terbang tak terhindarkan lagi.

Untuk keperluan perang, Italialah negara pertama yang berinisiatif. Italia yang terlibat perang dengan Turki dari bulan September 1911 - September 1912, memanfatkan keunggulan pesawat untuk menandai sasaran artileri yang ditembakkan dari kapal Italia, Sardegna. Ini juga yang dimanfaatkan Letnan Gavotti ketika membom Oasis Taguira dan Ain Zara dari atas Etrich Taube. Dua kilogram bom lainnya, dijatuhkan tanggal 1 November di tahun yang sama pemboman pertama menggunakan pesawat.

Awal Perang (April 1914 - April 1915) - Ketika PD I meletus, kekuatan udara Jerman terdiri dari 246 pesawat, 254 pilot, dan 271 awak intai. Umumnya dari jenis Albatros dan Aviatik. Belum ada perang udara besar pada masa ini. Paling hanya ketika Letnan Franz Von Hiddeson membom posisi Sekutu di Paris dengan pesawat Taube, 13 Agustus 1914 yang menandai awal peperangan udara PD I. Sekutu membalas dengan mengirim pesawat Sopwith Tabloid untuk menghajar jalur rel di Cologne dan sarang Zeppelin di Dusseldorf.

Hiddeson yang menjatuhkan bom ringan dengan tangannya, tercatat sebagai orang Jerman pertama membom posisi Sekutu di Paris. Sebaliknya, sebuah pesawat Jerman Aviatik, ditembak jatuh oleh pesawat Farman biplane yang diterbangkan pilot Perancis, Sersan Joseph Franz di Voisin. Pemantekan senjata di pesawat belum memassal. Sebagian menggunakan pistol. Ketika menembak Aviatik tanggal 5 Oktober 1914, Franz menggunakan senjata free-mounted Hotchkiss.

Tahun Somme (April 1915 - Oktober 1916) - Dengan ditemukannya sistem "tembak disela baling-baling", penggunaan pesawat untuk kebutuhan militer kian meningkat. Jerman, contohnya, segera membentuk fighting scout, satuan khusus pengejar pesawat, dipimpin Max Immelman dan Oswalde Boelcke. Dua pesawat Inggris B.E.2.C, berhasil mereka paksa turun dengan Fokker E I. Kejar-kejaran dan pertempuran udara mulai menjadi pemandangan biasa.

Pahlawan udarapun bermunculan di kedua belah pihak. Seperti Georges Guynemer, pilot Perancis, yang menembak jatuh pesawat pertama 19 Juli 1915. Karena kepiawaiannya, dia dianugerahi Cross of the Legion d'Honeur. Georges memegang rekor 54 kemenangan, sebelum SPAD VII yang dipakainya jatuh bulan September 1917.

April Merah (Desember 1916 - November 1918) - Boleh jadi pada kurun ini, Jermanlah penguasa udara. Dengan strategi membentuk 37 skadron pemburu (Jagdstaffeln/Jasta), Jerman menuai kemenangan demi kemenangan. Hanya dalam satu bulan, April 1917, Jerman menuai kemenangan dengan membantai 316 pilot dan awak intai Inggris. Petaka itu berawal dari ketidaksanggupan pesawat R.E.8 dan S.E.5a menandingi kelincahan si sayap tiga, Fokker Dr 1. Manfred Van Richthofen dari Jasta 11 salah satu jago perang udara dengan 80 kemenangan. Richthofen gugur 21 April 1918, setelah ditembak jatuh oleh sebuah pesawat Sopwith Camel yang diterbangkan pilot Kanada, Kapten AR Brown.

Tapi dewi fortuna mulai beranjak. Serangan besar-besaran yang dilancarkan Jerman pada bulan Maret-Juni 1918, tak membuahkan hasil. Malah sebaliknya, ketika Agustus 1918, Inggris melakukan serangan udara yang melibatkan 1.700 pesawat tempur-pembom. Serangan ini mempercepat kerajaan Jerman menandatangani perjanjian perdamaian, 11 November 1918 di Perancis.

Perang Dunia II

Battle of Britain - AU Nazi Jerman (Luftwaffe) berhasil merebut keunggulan udara atas Inggris dalam waktu dua-tiga minggu untuk memuluskan operasi pendaratan Sea Lion dari selat Channel. Ini adalah janji yang diucapkan Reichsmarschall Hermann Goring KSAU Jerman. Bukan sesuatu yang berlebihan, lantaran saat itu (pertengahan 1940), Luftwaffe memiliki 2.800 pesawat dari berbagai jenis. Bandingkan dengan RAF yang hanya punya 540 pesawat layak terbang, sudah termasuk 66 Hurricane Mk 1 yang selamat dari 261 pesawat yang pernah dikirim membantu Perancis. Sementara pilot-pilot Luftwaffe sudah berpengalaman dalam pertempuran di perang saudara Spanyol, Polandia, dan Perancis.

Pemboman pertama dilakukan Luftwaffe pada sasaran Forth Bridge di Edinburg. Sejak itu, gelombang demi gelombang pengeboman dilakukan selama tiga bulan untuk menyapu armada RAF dan stasiun radar Inggris disepanjang pantai Selatan. Tapi pada tanggal 24 Agustus 1940, pembom Jerman tersasar ke London dan menjatuhkan muatannya untuk kabur. Kejadian yang tak disengaja ini mendorong RAF membalas dengan mengerahkan 80 pembomnya ke Berlin. Sejak saat itu, London menjadi target utama Luftwaffe.

Keuntungan sebenarnya ditangan Inggris. Bila Spitfire dan Hurricane tertembak, pilotnya dapat diselamatkan. Sedangkan pilot Me-109 atau JU-87 bila tertembak, tidak bisa kembali ke pangkalannya lantaran tercebur ke laut atau tertawan. Celakanya, pilot Jerman yang tertawan ini dikirim ke Kanada sampai perang usai. Akibatnya fatal, Luftwaffe krisis pilot berpengalaman.

Pembatalan Operasi Sea Lion pada bulan Oktober 1940, menandai berakhirnya Battle of Britain. Tercatat sejak bulan Juli 1940, RAF kehilangan 950 pencegat dan 450 pilot. Sementara Luftwaffe kehilangan 1.733 pesawat. Sebagian besar pembom berawak 2-3 orang. Walau demikian, sampai bulan Mei 1941, mereka masih melakukan pemboman ke London pada malam hari. Inilah pertempuran udara terbesar abad ini.

Operasi Normandia - Setelah mengalami pemboman siang (AU AS) dan malam (Inggris), keunggulan udara atas Eropa beralih ke tangan Sekutu. Keunggulan Sekutu sangat dipengaruhi oleh pendaratan 145.000 tentara di Normandia, 4 Juni 1944. Untuk kelancaran operasi Inggris menemukan teknik mengacaukan radar pertahanan Jerman. Namanya Windows, pertama diterapkan 25 Juli 1943. Hasilnya, dari 791 pembom RAF yang dikirim ke Hamburg, hanya 12 yang tertembak jatuh. Sesungguhnya, Jerman sendiri sudah kehabisan napas. Hanya 500-an pesawat Luftwaffe yang siap tempur dari pangkalannya di Perancis dan Belgia.

Pemburu macam P-51B/D Mustang, Spitfire, P-38 Lightning, berkeliling mencari Messerschmitt Me-109 atau Focke Wulf FW-109. Sementara Typhoon dan B-26 Marauder, menyapu pasukan Nazi yang tersisa. Sasaran B-17 Flying Fortress dan B-24 Liberator sekarang dialihkan ke kilang-kilang minyak. Akibatnya, persediaan bahan bakar Jerman turun drastis dari 196.000 ton menjadi hanya 7.000 ton.

Komposisi penerbang juga berubah. Semua pesawat yang ada digunakan untuk menahan armada pembom, hingga Jerman kehilangan kekuatan ofensifnya. Kemunculan pesawat aneh, prematur, dengan pilot miskin pengalaman, menjadi lazim bagi Luftwaffe. Sebut saja memodifikasi ME-109 atau menggotong FW-109 di atas Ju-88 yang penuh dimuati bom untuk menghantam kapal-kapal Sekutu. Belum lagi hadirnya jet ME-262 yang belum laik terbang atau si Salamander Heinkel He-162A, pesawat yang badannya terbuat dari kayu.

Jerman pernah mencoba bangkit (12 Juni 1944) dengan meluncurkan 10 Fi 103 (V1) ke London cikal bakal rudal antar benua. Hanya satu yang mengenai sasaran. Luftwaffe juga meluncurkannya dari pembom He 111. Sampai penghujung 1945, 1.200-an bom V1 diluncurkan. Hanya 638 yang sempat mendarat di Inggris.

Sebelumnya, di tahun baru 1945, Luftwaffe melakukan serangan udara atas pangkalan udara Sekutu di Perancis, Belanda, dan Belgia. Operasi Bodden Plate ini melibatkan 800 penempur bermesin piston maupun jet. Hasilnya, sekitar 134 pesawat Sekutu ditambah 62 yang sedang dibetulkan, hancur. Luftwaffe sendiri kehilangan 300 pesawat, yang kebanyakan akibat tabrakan lantaran pilot-pilotnya masih belum berpengalaman. Serangan ini sekaligus menandai serbuan udara besar terakhir Jerman.

4 Mei 1945, Sekutu menguasai Berlin. Tidak kurang 3.500 pesawat Luftwaffe tergeletak begitu saja dengan bahan bakar kosong. Selama PD II, Luftwaffe kehilangan 44.065 air crew, 28.200 luka-luka, dan 27.610 hilang atau tertawan. Akhir yang menyedihkan bagi salah satu AU terkuat Abad 20.


Sumber: http://www.angkasa-online.com



posted by FerryHZ at 12:11 PM | Permalink |


0 Comments: