(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=void 0!=f?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(void 0==f)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=0=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; 0=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&0=b&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Thursday, May 29, 2008
Daniel Maukar, Menembaki Istana Merdeka dengan MIG-17 (Peristiwa 1960)

Daniel Maukar menolak tegas jika aksinya menembak Istana Merdeka (bukan Istana Merdeka Selatan) dikait-kaitkan dengan rumor Molly Mambo, sang kekasih. "Aksi ini murni dari saya, bukan karena rumor Molly direbut Bung Karno," aku Daniel Maukar dengan mimik serius.

Penulis: Beny Adrian/Angkasa


Apalagi untuk membunuh Soekarno, Presiden RI, sama sekali tidak ada dalam benak Dani. Bahkan selama masa persiapan aksinya, berkali-kali Dani menegaskan sikapnya, "Jangan main-main loh, ini nyawa orang, nyawa presiden," kata Dani. Lagi pula seluruh pejuang Permesta Sulawesi Utara yang berada di Jakarta dengan sandi "Manguni" dipimpin Ventje Sumual dan Sam Karundeng, tahu betul bahwa BK adalah idola. "Mereka hanya kecewa. Kekecewaan kepada presiden dan penembakan itu adalah tanda ketidaksetujuan," jelas Dani.

Dani mengaku geli dengan dikait-kaitkannya Molly dalam peristiwa itu, bahkan banyak yang percaya termasuk teman-teman Molly di IKIP Jakarta. Ketika berada di penjara, Dani banyak belajar bahwa sangat dampang memunculkan gosip untuk membuat orang percaya. "Walau saya katakan berkali-kali mereka tetap katakan saya bohong," kenang Dani.

"Molly memang tunangan saya namun kami tidak sempat kawin. Jadi gosip bahwa Molly direbut Bung Karno lalu membuat Maukar marah, bohong. Ada yang bilang itu dilansir orang Amerika," kata Dani.

Nancy pun sependapat dengan abangnya. "Saya kira isu itu sengaja dihembuskan orang-orang tertentu untuk mengaburkan otak dibalik peristiwa itu," jelas Nancy. Serupa dengan Nancy Maukar, Marsda (Pur) Ibnoe Soebroto yang mengaku sahabat dekat Dani juga beranggapan begitu. "Isu diluar pacarnya diambil Bung Karno, itu isu dan saya tidak yakin," kata Soebroto ketika dijumpai di kediamannya.

Dani mengaku mulai didekati secara sistematis oleh Manguni sejak kepulangannya dari Mesir akhir 1958. Berbagai rencana sampai ke telinganya, namun Dani tak pernah menanggapi serius. Termasuk rencana kakaknya Herman untuk menyabotase kapal tanker yang mau membawa minyak ke Sumatera.

"Bagaimana caranya," tanya Dani kepada Herman yang dengan entengnya menjawab akan menaruh dinamit pada kayu-kayu penahan dermaga yang akan meledak ketika tersenggol kapal. Namun Dani tak habis pikir, mau berapa banyak dinamit dipasang. "Pokoknya pasang secukupnya," jawab Herman seingat Dani. Dani pun akhirnya menasehati, bahwa dinamit tidak akan mampu menjebol beton, "Sama saja dengan pasang petasan." Lebih gila lagi, mereka merencanakan menyelam dengan snorkel saat memasang. "Cara berpikir Herman memang nekat." Lain kesempatan Herman bermaksud meledakan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api.


Diakui Dani ada banyak kejadian sebelum penembakan istana tersebut, dan Dani selalu menegaskan bahwa dia tidak mau ikut-ikutan. "Apa yang bisa dilakukan seorang letnan," kata Dani kepada rekan-rekannya. Alhasil ketika beberapa kali Dani mengikuti Molly menghadiri acara mahasiswa Manado di Bandung, ejekan dan sindiran mulai memanasi kupingnya. "Kenapa tentara menghalangi kalau kami demo," tanya mereka. Dengan tenang Dani menjawab, "Kami tidak ngalangi, kami nggak bisa apa-apa, kami dibayar pemerintah dan kami bekerja sesuai perintah."

Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekost di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Namanya Kokar. Dia, seingat Dani, banyak bercerita soal ketimpangan pembangunan di Manado setelah melakukan perjalanan ke sana. Jika sang ayah sedih, Herman sebaliknya makin terpancing emosinya.

Seiring perjalanan waktu, perlahan namun pasti Dani memang akhirnya mulai terseret dan tertarik dengan rencana-rencana Manguni. Bahkan pada suatu hari Herman dengan organisasinya berencana menculik Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.


Batalion 324

Rencana makar ini sebenarnya direncanakan untuk dilakukan pada 2 Maret 1960 bersamaan dengan peringatan hari Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret, kembali gagal. Menurut Maukar, gelombang serangan akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.

Dani pun berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda. Dalam catatan sejarah "Jagoan dan Bajingan di Jakarta tahun 1950-an" (supermilan.wordpress.com), Bratamanggala pernah dikenal sebagai pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra alias Kolonel Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang pernah berjuang di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah pasar dan kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra "berkuasa" dan menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman dalam istilah sekarang.

Saat itu dilukiskan Dani bahwa situasi memang sudah memanas. Sejumlah mahasiswa ditangkap aparat, Herman Maukar hilang entah ke mana. Sempat pada masa-masa genting itu Dani dipanggil sang ayah untuk menanyakan apakah letnan muda yang dibanggakan sang kakak Paula ini terlibat. "Kepada ayah saya bilang bahwa saya tidak akan ikut." Padahal sekitar bulan Februari, Dani sudah menyampaikan kepada Herman dan beberapa tokoh lainnya. "Ayo cepat bilang apa yang harus saya lakukan," jelas Dani.

Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Dani pernah menanyakannya secara langsung ketika secara kebetulan ada misi penerbangan ke kota kembang itu. Sejumlah pihak yang ditemuinya mengaku terlihat grogi terbukti dengan jawaban yang tidak masuk akal. Ada yang bilang tanggalnya tidak cocok, bukan hari baik lah atau masih tunggu tanda. "Akhirnya saya bilang, kalau kamu tunggu tanda sampai kapan, ya sudah kalau begitu aku saja yang kasih tanda. Bilang saja saya tembak, suruh tembak apa sekarang. Betul, betul saya bilang. Lalu mereka pergi. Saya pikir mereka pergi ke Sam Karundeng dan sampaikan rencana itu. Ternyata tidak, mereka kemudian karang sendiri rencana yang akan dilakukan," kenang Dani.

Lalu Dani menemui Mayor Sutisna (Dani tidak menyebut nama-nama lain dalam pertemuan). Oleh perwira ini Dani di-briefing dan diberitahu sasaran yang dikehendaki. "Dia minta saya tembak Halim, saya bilang nggak bisa itu rumah saya. Kalau mau sasaran lain, jangan sasaran AURI," bantah Dani. Menurut Dani, sikapnya ini cukup menolong dirinya di mata AURI ketika terungkap di dalam persidangan.

Akhirnya dari pertemuan itu disepakati tiga target yang harus ditembak Dani. Meliputi Istana Kepresidenan, tanki bahan bakar di Tanjung Priuk, Istana Bogor dan kemudian kabur ke Singapura. Tapi Dani menolak butir terakhir, kabur ke Singapura. "Dua adik saya perempuan dan papi saya di sini, nanti disikat. Saya tidak mau, saya tidak akan lari," tegas Dani. Karena penolakan ini, akhirnya disepakati pendaratan darurat akan diatur di wilayah Darul Islam (DI). Kota Malambong dan Panumbangan dipilih selain karena wilayah DI, ke dua tempat itu kebetulan sedang dikuasai Batalion 324, batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas DI. Dengan identitas Menado, para konseptor yakin Dani akan diselamatkan. "Jadi Sutisna banyak menentukan dalam soal ini."

Pada tanggal 9 Maret pagi itu Dani masih berada di Bandung. Secara diam-diam seseorang melaporkan kepada Bratamenggala bahwa Daniel Maukar sudah berangkat ke Jakarta (dengan pesawat MiG-17). Sepengetahuan Dani, katanya, Bratamenggala marah sekali dan meminta seseorang menyusul Dani untuk menahan serangan. "Dia sudah berangkat, sudah kepalang ke Jakarta dan kita tidak bisa menyusul," jelas Herman kepada Bratamenggala. Namun Herman tetap diperintahkan menyusul Dani untuk mengatakan jangan melakukannya. "Padahal Herman bohong, karena saat itu saya masih ada di Bandung, jadi memang ada pihak-pihak yang menginginkan rencana itu tetap dijalankan," papar Dani.

Insiden Istana Merdeka ini menurut Dani nyaris sama dengan Peristiwa Cikini. Kolonel Zulkifli Lubis yang ditemuinya di dalam penjara, mengatakan bahwa dirinya melarang aksi itu namun tetap dilaksanakan. "Jadi top tidak tahu, yang bermain di tengah," ujar Dani.


Persiapan aksi

Persiapan sebetulnya nol. Kata-kata itu meluncur dari mulut Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta lalu cari daerah Panembangan, bikin garis-garis, lalu selesai. Hal ini diakui Dani sebagai kelalaiannya hingga usia menembak Istana Bogor dia kehilangan arah.

Pagi itu tanggal 9 Maret 1960, cuaca cerah mengiringi dimulainya denyut nadi kehidupan di Ibukota Jakarta. Sejumlah aktifitas mulai dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran. Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya.

Ternyata sehari sebelumnya, 8 Maret, Dani pergi ke Bandung untuk menemui Sam Karundeng dan Herman. Kunjungan itu sengaja dibuat sebagai persiapan terakhir. Karena itu Dani sengaja membawa sebuah MiG-15 untuk memperlancar rencananya. Maka pagi itu pukul 04.30 tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk persiapan kembali ke Jakarta. Ikut mengantar pagi itu Herman, Sam, Fifi dan Molly. Sebuah ciuman mesra diberikan Dani kepada Molly. Sang kekasih masih sempat menanyakan kepada Dani apakah Sabtu depan akan ke Bandung. Tanpa sadar air mata membasahi pipi Dani begitu Molly diikuti Fifi berlalu. Perasaannya begitu gundah.

Mungkin sekitar jam 6-an, sebuah MiG-15 UTI berlalu dari Bandung. Ikut bersama Dani di pesawat Rob Lucas, teman Herman, yang sudah dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Sebuah tumpangan yang ekslusif untuk rute Bandung-Jakarta. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Setelah basa-basi seperlunya, Rob pun berlalu dari pandangan Dani.

Sementara Dani sudah larut dalam aktivitas harian skadron. Sampai akhirnya seorang perwira mengatakan bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan diadakan penerbangan supersonik (supersonic flight). Bagaimana caranya terbang supersonik dengan MiG-17 yang jelas-jelas subsonik.

Penerbang senior itu kemudian menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun daftar penerbang hari itu. "Tiger", callsign Letnan Dua Udara Daniel Maukar ada di urutan terakhir. "Seingat saya hari itu adalah giliran Saputro, Sofyan Hamzah dan saya," kenang Dani. "Mestinya saya ikut, tapi karena habis operasi kuku saya tidak bisa ikut misi hari itu," jelas Ibnoe Soebroto.

"Kamu akan mengalami sebuah sensasi ketika pesawat kamu menembus kecepatan suara," kata perwira operasinya. Setiap pesawat diberi jeda satu jam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Dia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda. Sebuah pisang dikunyahnya untuk sekadar mengganjal isi perut.

Akhirnya ketika jam menunjukkan pukul 11.45, giliran Dani tiba. Helm dibawa menuju pesawat MiG-17F Fresco nomor 1112. Sambil berjalan, matanya sempat menyapu kawasan skadron dan berucap dalam hati, "sampai kapan saya akan meninggalkan tempat ini." Lalu pandangan diarahkannya ke selatan, sedikit berawan namun tetap cerah. "Blue over Jakarta, a perfect day," lirih Dani meyakinkan diri.

Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat dan kemudian naik ke kokpit. Dia akan memulai penerbangan hari itu dengan sebuah doa di dalam hati: Saat ini Tuhan, sertailah diriku. Berkati aku dalam misi ini, karena Kamu tahu apa maksudnya. Maafkan aku dalam dosa ini. Dalam nama Yesus. Amin.

"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"

"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."

"Tiger local flying. Request to start engine, over."

"Roger, Tiger, you are cleared to start engine."

Sedetik kemudian Dani melongok ke teknisi di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memperhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan dia mendorong ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator. Semua oke.

"Kemayoran tower, from Tiger, over."

"Roger Tiger, come in."

"Tiger request taxi and take off instructions, over."
"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position." Dani pun menutup kanopi dan memeriksa safety belt lock.

"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."
"Roger, Tiger, you are cleared for take off."

Menurut briefing pagi itu, pesawat mesti heading ke selatan Jakarta. Tapi Dani sudah punya rencana lain. Namun pagi itu dia masih sempat mengontak seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka. Kepada anggota itu Dani menanyakan apakah melihat bendera kuning berkibar. "Tidak ada Pak," katanya. Berarti presiden sedang tidak di Istana.

Sasaran pertama adalah kilang minyak Shell di Tanjung Priuk. Pesawat berbelok ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Dani sudah mengaktifkan tombol penembakan (flipped on gunsight). Tanki-tanki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tanki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu.

Jarinya menekan trigger. Det….det….det…det…, 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tanki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani hanya bisa menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.

Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. "Saya sudah di atas Senen (pusat pertokoan) dan di kejauhan terlihat Istana," kata Dani. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Setelah berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian dia kembali mengirimkan tembakan dengan sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.

Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbojet seperti merontokkan jantung warga Ibukota di siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah dia melihat keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. "Saya tahu hari itu Allan Pope sedang di sidang, jadi saya sengaja high speed low level," aku Dani. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.

Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit dia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.

Tiba-tiba, "Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas sekalipun. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali dia membalas posisinya akan diketahui. Radio pun dimatikan.

Pesawat terus melaju cukup kencang menuju Bandung. "Disitu kesalahan saya, ngelamun sambil terbang, tiba-tiba ingat Molly." Bergalau pikiran di benak Dani. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Molly jika tahu apa yang sudah dilakukannya. Apalagi membayangkan reaksi sang ayah. Dani tidak sadar bahwa dia sudah terbang jauh, tanpa tahu arah. Sampai akhirnya dia tersadar, dan tidak tahu persis sudah berada di mana. Namun Dani yakin, dia pasti sudah mendekati Garut.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah dia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya di mana-mana. Daripada pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan.

Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MiG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. "Daripada saya menderita," jelasnya. Sore itu juga setelah ditangkap tentara di Garut, datang mengunjungi Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik.

Nun jauh di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satupun tuduhan langsung terarah ke Dani. "Malah yang dicurigai saya, menurut Pak Darman (alm), itu pasti Broto…Broto," kenang Ibnoe Soebroto. Begitu pula keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja.

"Bagaimana pendapat Bapak soal penembakan tadi."

"Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provost itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Di tempat lain di Jakarta, Rob Lucas ditangkap dikediamannya gara-gara pagi itu ikut MiG-15 dengan Dani, namun kemudian dibebaskan karena tidak terbukti terlibat.


Kebaikan Suryadarma

Siang itu juga di Jakarta, KSAU Marsekal Suryadi Suryadarma langsung menghadap Presiden Soekarno untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya. Sepertinya Suryadarma langsung menemui BK, karena siang itu kebetulan dia menghadiri sidang Dewan Nasional di gedung di samping Istana Merdeka. Dengan sikap kesatria, Suryadarma meminta mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawabannya namun ditolak oleh BK. Sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena menemui Suryadarma. Erlangga Suryadarma, putra Suryadarma pernah menceritakan kepada Angkasa bahwa Leo siap menerima tanggungjawab atas ulah anak buahnya.

Atas ulahnya, Letnan Udara Daniel Alexander Maukar dikenakan hukuman mati sebelum diampuni Soekarno tahun 1964. Namun setelah melalui berbagai proses bolak-balik, ia dibebaskan Maret 1968, era Presiden Soeharto. Ada peristiwa menggelikan ketika Dani dikirim ke penjara. Hari itu mestinya Kapten Willy Rondonuwu dibebaskan. Namun karena aksi Maukar, pembebasannya jadi tertunda. Sejak boleh dikunjungi Juni 1960, keluarga termasuk Molly Mambo, mulai mengunjungi Dani dengan pengawalan ekstra ketat.

Suryadarma sebagai KSAU banyak membantu proses persidangan Dani hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya. Dengan singkat Suryadarma menjawab, "Dia sudah saya anggap anak saya." (*)


Sumber:

http://www.angkasa-online.com/


posted by FerryHZ at 3:48 PM | Permalink |


0 Comments: