TAK bisa dimungkiri, Orhan Pamuk adalah salah satu sastrawan terdepan dunia saat ini. The New York Times Book Review yang berwibawa itu menulis tentang Pamuk dengan pujian melangit, "Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki."
Reputasi internasional sastrawan Turki pemenang Hadiah Nobel Sastra 2006 ini melambung terutama setelah terbitnya Benim Adim Kirmizi (1998, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Erdag M. Goknar sebagai My Name Is Red pada 2001). Novel yang terjemahan bahasa Indonesianya akan segera diterbitkan oleh penerbit Serambi itu membaurkan misteri pembunuhan, kisah cinta dan renungan filsafati yang berlatar di Istanbul --simbol tonggak kejayaan Islam yang terakhir-- pada abad keenam belas.
Dalam sebuah wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya tidak menjadi alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "Dua cara yang berbeda dalam melihat dunia dan bercerita ini tentu saja berkaitan dengan kebudayaan kita, sejarah kita, dan apa yang kini secara luas disebut identitas. Seberapa dalam mereka terlibat konflik? Dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan antara Timur dan Barat ini. Namun, tentu saja, saya berharap para pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar dan budaya, dan semoga My Name Is Red mampu menggambarkannya."
Novel ini setidaknya telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangi sejumlah hadiah sastra internasional terkemuka, antara lain International IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia).
Kini nama besar Pamuk semakin menjulang setelah Akademi Swedia menobatkannya sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra 2006 pada 12 Oktober silam. Untuk itu, ia berhak atas hadiah uang senilai 11 miliar rupiah. Seperti halnya saat hadiah bergengsi ini diberikan kepada Gabriel Garcia Marquez pada 1982, khalayak sastra dunia umumnya menganggap penobatan Pamuk sebagai sesuatu yang amat pantas.
Siapakah Orhan Pamuk?
Pamuk dilahirkan dalam sebuah keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya adalah direktur utama pertama IBM Turki. Ferit Orhan Pamuk, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Istanbul pada 7 Juni 1952. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota itu.
Riwayat pendidikannya agak rumit. Mula-mula ia mengambil jurusan arsitektur di Universitas Teknik Istanbul karena tekanan keluarganya yang berhasrat agar ia menjadi seorang insinyur. Namun, ia berhenti setelah tiga tahun kuliah dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis sepenuh waktu. Ia kemudian lulus dari jurusan jurnalistik Universitas Istanbul pada 1977. Pamuk sempat menjadi dosen tamu di Universitas Columbia di New York City antara 1985 hingga 1988. Lalu, ia kembali ke kota kelahirannya.
Riwayat percintaannya juga penuh liku. Pamuk menikah dengan Aylin Turegen pada 1982, tetapi bercerai pada 2001. Keduanya memiliki seorang anak perempuan, Ruya (untuk putrinya inilah novel My Name is Red dipersembahkan). Kini Pamuk hidup menduda.
Pamuk yang pada awalnya lebih tertarik pada seni rupa mulai menulis secara serius pada 1974. Novel pertamanya, Karanlik ve Isik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Ogullari (Tuan Cevdet dan Anak-anaknya) pada 1982, dan memenangi Hadiah Novel Orhan Kemal pada 1983. Novel keduanya, Sessiz Ev (Rumah yang Sunyi), beroleh Hadiah Madarali 1984. Sedangkan, novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985 --diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai White Castle pada 1990), mendapat Independent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 1990 dan memperluas reputasinya di luar negeri.
Pamuk agak lambat menjadi terkenal di kalangan khalayak umum, tetapi novelnya Kara Kitap (Buku Hitam, 1990) menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitasnya. Novel keempat Pamuk, Yeni Hayat (Hidup Baru), menimbulkan sensasi di Turki saat terbit pada 1995 dan sempat menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu.
Novel terakhir Pamuk adalah Kar (Salju, 2002 --diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), membahas konflik antara Islam dan Barat di Turki modern, dan meraih Prix Midicis untuk Novel Terjemahan Terbaik yang terbit di Prancis pada 2005. Pamuk juga menerbitkan karya nonfiksi, antara lain sebuah catatan perjalanan, Istanbul --Hatiralar ve Sehir (Istanbul --Kenangan dan Kota, 2003). Sejauh ini novel-novelnya laris terjual hingga ratusan ribu eksemplar di banyak negara dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa.
Novel-novel Pamuk bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh konflik antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya itu kerap menggelisahkan, dengan plot yang rumit dan memikat, serta penokohan yang kuat. Pada 2005, Orhan Pamuk mendapatkan Hadiah Perdamaian dalam Pameran Dagang Buku Jerman untuk karya-karya sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik nilai antara peradaban Barat-Eropa dan Islam-Turki.
Pamuk dan tekanan penguasa
Di negerinya yang penduduknya mayoritas Muslim, Pamuk dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie dan membela hak-hak etnis minoritas Kurdi. Ia juga bicara lantang tentang hak-hak asasi manusia,
hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isu-isu lingkungan hidup.
Setahun silam muncul tekanan politis dan dakwaan kriminal dari pemerintah Turkiterhadap Pamuk akibat pernyataannya dalam wawancara dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan Swiss pada Februari 2005. Dalam wawancara itu, Pamuk menyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tak seorang pun yang berani berbicara tentang hal ini, kecuali
saya."
Tekanan penguasa terhadap Pamuk mengundang reaksi internasional dan menghambat rencana masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa. Pada Desember 2005, Amnesti Internasional mengeluarkan pernyataan yang menyerukan agar Pamuk dibebaskan dari dakwaan. Dalam bulan itu juga, delapan sastrawan terkemuka dunia --Josi Saramago (Portugal), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Gunter Grass (Jerman), Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo (Spanyol), John Updike (Amerika Serikat), dan Mario Vargas Llosa (Peru)-- menerbitkan pernyataan
bersama dan mengecam tuduhan atas Orhan Pamuk sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Ironisnya, sebagian rekan sebangsanya justru menyerang Pamuk karena dianggap terlalu menyudutkan bangsanya sendiri. Selain itu, sebagian pengamat curiga terhadap maksud Pamuk sesungguhnya di balik pernyataan kerasnya adalah agar ia mendapat Hadiah Nobel Sastra 2005 yang kemudian ternyata dianugerahkan kepada dramawan Inggris, Harold Pinter.
Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya, melalui karya-karya
cemerlangnya Orhan Pamuk mengukuhkan diri sebagai sastrawan terkemuka dunia yang
tak jeri menyuarakan kesaksiannya dan terus berkarya.***
-------------------------------
Penulis, cerpenis, editor novel "My Name Is Red" karya Orhan Pamuk dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia, dan penulis buku Ensiklopedia Sastra Dunia (2006).
sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/21/khazanah/utama01.htm