Oleh: Ferry Herlambang
Otot di leher bapak terlihat biru. Tulang-tulang di sepanjang tubuhnya bertonjolan memamerkan betapa kurusnya bapak. Usia bapak yang mendekati tujuh puluh telah membunuh keperkasaannya. Sebagai anak, aku pernah melihat kemudaan yang menyertai ketampanan dan semangat hidup bapak yang membara. Itu berahun-tahun yang lalu. Sejak kematian mamak, keperkasaan bapak menghilang begitu cepatnya.
Detakan detik sepertinya ikut menggerus setiap sel tubuhnya. Dan usia tua ikut meluluh-lantakkan kebanggaan pada keperkasaan ototnya. Perlu kamu ketahui bahwa bapakku adalah bandol di pasar Klewer. Dulunya, dia adalah penguasa para jawara di seluruh kabubapten AlasTlogo. Pasar Klewer adalah sisa kekuasaan bapak yang masih tersisa seiring dengan melemahnya otot-otot tua bapak.
Aku ingat sekali pada tahun pertama kematian mamak, tubuh gempal bapak perlahan-lahan lenyap. Otot-otot kekarnya satu persatu bersembunyi di balik sisa-sisa dagingnya. Tahun kedua kemudian batuk dan penyakit ngilu mulai menyerang. Dan tahun-tahun setelahnya, semuanya seperti lenyap.
Sewaktu masih hidup, aku pernah bertanya pada mamak tentang rahasia kehebatan bapak. Kata mamak, "Bapakmu memiliki jimat kekebalan di balik lipatan bajunya." Aku selalu mengingat jimat kekebalan itu di sepanjang usiaku.
v
Aku memiliki seorang kakak bernama Sadrun. Dia mirip sekali dengan bapak. Keberanian dan nyali besarnya membuat kakak menjadi sesosok hantu yang menakutkan. Kata mamak, kakakku di lahirkan bersama mimpi-mimpi tentang ular dan buasnya harimau. Kata bapak, kakakku adalah penjelmaan dari mimpi-mimpi mamak. Sedangkan aku, mereka memilih untuk tidak bercerita apapun.
Bagiku, kakakku adalah seorang lelaki dengan lidah ular bercabang seribu. Tidak ada kehormatan yang di pegang olehnya. Keinginannya adalah harga mati yang akan di kejarnya sampai mati, meskipun harus menumpahkan darah orang lain. Kata orang, kakakku sekarang telah menjadi pimpinan begal di hutan Panduro. Dia menguasai semua begal dan pembunuh di sekitar hutan itu.
Aku mengingat kakakku sebagai anak kesayangan mamak. Mamak mampu merubah semua kesalahan kakak menjadi nyanyian yang menyejukkan di telinga bapak. Lalu semuanya menjadi sempurna ketika kakak mulai meniru-niru bapak. Yang aku ingat, pujian bapak yang paling hebat adalah ketika kakakku berhasil mematahkan lengan kanan Bejo, anak pak Suro yang rumahnya ada di ujung desa. Malam harinya pak Suro datang ke rumah dan meminta pertanggungjawaban bapak. Kali ini ganti bapak yang mematahkan lengan pak Suro. Meskipun begitu, kakakku tidaklah teralu menyayangi bapak. Sifat bapak yang suka keluyuran dan meninggalkan keluarga membuat kakak muak dan lebih dekat pada mamak. Demikian juga aku.
v
Kini aku telah beranjak dewasa. Di besarkan sebagai anak yang di anggap pengecut membuatku lebih suka menyendiri dan mengamati tingkah laku bapak dan kakakku. Aku lebih suka berpikir daripada mereka.
Lalu pada kedewasaanku pula aku mulai mengenal Marpuah, gadis dengan senyum seindah bulan purnama. Aku mengenalnya juga di bawah bulan purnama, pada sebuah pasar malam yang sedang mampir di kecamatan. Marpuah naik komedi putar kala itu. Tubuhnya indah di atas kuda kayu yang berputar. Aku mengamatinya, sesekali dia mendekat lalu menghilang. Seperti merpati dengan kejinakannya yang menggoda. Aku mabuk kepayang. Lalu ku kirimkan pesan melalui tatapan mata dan sejuta kata-kata. Marpuah menyambutku lalu kamipun resmi menjadi sepasang sejoli. Itu cerita setahun yang lalu.
Hari ini, komedi putar yang mempertemukan cinta kami mampir lagi di kecamatan. Marpuah yang memberitahuku dengan penuh semangat dan cinta seorang kekasih yang ingin bernostalgia.
"Kang, ingat ulangtahun jadian kita, nggak?" Begitu dia memulai pertanyaannya. Mata berkejap dan kenesnya membubungkan rasa cintaku. Aku memeluknya.
"Bagaimana aku bisa lupa? Hari ini, kan?"
"Iya, kang. Hari ini komedi putar juga datang di kecamatan."
"Kamu ingin kesana?" Kataku. Marpuah merajuk, tubuhnya menggeliat dalam pelukanku.
"He-eh, kang. Sekalian merayakan ulang tahun jadian kita." Suaranya sesejuk angin sawah yang menerpa.
Ulang tahun. Seumur hidup aku tidak pernah tahu artinya. Bahkan tanggal lahirku-pun aku tak mengerti. Suatu waktu pernah aku tanyakan hari lahirku pada bapak, jawabnya, "Hari lahirmu pas gunung Sungging meletus."
Aku diam saja dan mengiyakan jawaban bapak ketika itu. Tetapi tentu saja tidak mungkin menuliskan "pas gunung Sungging meletus" di buku raport. Guru-guru di sekolahku-lah yang akhirnya melacak tanggal gunung Sungging meletus. Itupun dengan kira-kira.
Jadi kalau ada yang bertanya, "kapan engkau lahir?", maka aku akan menjawab, "pas gunung Sungging meletus. Kira-kira tanggal sekian, bulan sekian dan tahun sekian."
Tanggal lahirku tidaklah penting sekarang. Ulangtahun kemesraanku bersama Marpuahlah yang kini menjadi tanggal indah di pikiranku. Dan keinginan untuk naik komedi putar sambil bergandengan tangan dan merasakan semerbak wangi melati tubuhnya. Aku menyanggupi permintaanya untuk nonton komedi putar. Dan berharap mendapat kemesraan darinya di atas kuda kayu yang berpuar melingkar.
ESOK malamnya aku menepati janjiku, mengajak Marpuah ke pasar malam. Aku mendapatkan kemesraan dan kegembiraan persis seperti yang aku angankan. Marpuah mendapatkan kegembiraannya di atas kuda kayu. Kami saling memberikan kebahagiaan di atas kuda kayu yang catnya mulai mengelupas.
Tetapi bukan kegembiraan-kegembiraan itu yang akan menghantui hari-hariku selanjutnya, tetapi sebuah permintaan Marpuah ketika kami berada di stand cinderamata. Stand itu masih baru. Catnya yang berwarna-warni tampak mengkilap dan gadis-gadis penjaganya masih berseri ceria. Stand itu belum ada ketika kami berkunjung ke pasar malam setahun yang lalu. Marpuah menarik tanganku ketika melihat kilau manik-manik yang tertata indah di dalam etalase kaca.
"Indah nian, kang." Mata Marpuah berkejap-kejap, tersilaukan oleh keindahan kilau manik. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tidak ada yang bisa aku ucapkan kala itu.
"Aku ingin satu, kang." Katnya. Aku terkesiap. Kilauan manik-manik itu memang indah. Akupun ikut tersihir oleh keindahannya. Keindahan seperti itu tentu memiliki harga yang tidak murah. Aku mencoba untuk menguasai diriku. Ada harga diri yang harus aku jaga di depan Marpuah.
"Berapa harga sebutir manik ini." Tanyaku pada seorang penjaga perempuan yang gincunya semerah luka.
"Yang itu seribu ketip." Katanya sambil menunjuk sebutir manik berwarna merah yang ada di tangan Marpuah. Seribu ketip!!! Kali ini aku melangkah mundur. Seribu ketip setara dengan harga rumah dan sawah-sawah bapak. Aku tahu mustahil untuk memiliki sebutir manik itu. Marpuah masih memandangi manik merah yang ada di tangannya. Aku merasa beruntung kekagetanku tidak terlihat olehnya.
Marpuah menginginkan manik itu. Aku memberinya seribu alasan untuk tidak membelinya. Dia menurut tetapi dengan rajukan yang mengoyak harga diri lelakiku. UNTUK pertama kalinya aku merasa malu di depan Marpuah. Lalu aku mengantarnya pulang dan segera berpamitan pada kedua orangtuanya. Di sepanjang perjalanan, permintaan manik merah Marpuah berputar-putar di kepalaku. Harga diriku terluka oleh permintaan Marpuah yang tak bisa aku penuhi.
Sebuah cara. Aku harus temukan sebuah cara untuk mengabulkan permintaan Marpuah. Dan cara itupun segera melintas di benakku. Jimat keberuntungan bapak. Aku harus mendapatkan jimat itu. Dengan jimat itu aku dapat menjadi penguasa Alas Tlogo. Dengan menjadi penguasa Alas Tlogo aku dapat memenuhi permintaan manik-manik Marpuah.
v
Aku mengundang kakakku di suatu sore melalui salah satu anak buahnya yang kebetulan keluar hutan dan satu desa dengan kami. Pada orang itu aku sampaikan keinginanku untuk bertemu kakak. Ada masalah penting, begitu kataku pada begal muda itu. Dia berjanji untuk menyampaikannya pada kakakku dan segera mempersingkat waktu pulangnya. Lelaki muda itu memperlakukan aku dengan khidmat.
v
Aku dan kakakku bertemu di kuburan keramat yang berada di ujung desa. Di bagian tengah kuburan adalah makam punden desa yang di keramatkan. Setiap kamis malam jum'at selalu ada sesaji di atasnya. Tidak ada seorangpun memiliki keberanian untuk mengusik makam punden.
Aku telah berada di makam keramat ketika kakakku tiba. Aku berdiri di atas makam punden desa. Kakakku berdiri di depanku dengan tangan memegang badik yang terselip di pinggangnya. Matanya menatapku dengan sorot seperti biasanya. Dia meremehkan kelelakianku dan kejantananku. Aku menantang keberaniannya dengan menaikan kakiku ke atas makam punden. Kakakku mundur selangkah. Sorot matanya sedikit berubah sekarang. Ada pancaran kekaguman pada keberanianku. Dia sendiri tidak akan berani duduk di atas makam punden desa.
"Apa yang membuatmu mengundangku ke kuburan keramat ini, adikku?"
"Sebuah cerita tentang kebenaran."
"Kebenaran apa yang engkau tahu dan luput dari tajamnya mataku?"
"Kebenaran tentang kematian mamak."
Kakakku terdiam. Air mukanya tidak dapat aku gambarkan, mungkin menyerupai pucatnya mayat. Atau setan kuburan telah menyerupakan wajahnya pada wajah kakakku.
"Mamak di bunuh oleh bapak, ketika bapak ingin mengawini Nyi Rumbini, sinden dari dukuh Ploso."
"Sinden yang mati karena di bunuh perampok beberapa tahun yang lalu?"
"Aku yang merampok dan aku yang membunuhnya. Balasan untuk kematian mamak."
Wajah kakakku semakin pucat. Aku tidak tahu yang dipikirkannya. Mungkin dia bangga dengan keberanianku atau kecewa karena aku telah mendahuluinya membunuh sinden dukuh Ploso itu. Aku tidak terlalu memikirkannya. Aku punya tujuan yang lebih penting daripada memikirkan pikiran dan pendapat kakakku.
"Aku telah melaksanakan kewajibanku untuk membunuh sinden Ploso. Sekarang giliranmu untuk melaksanakan kewajibanmu."
"Semuanya sudah selesai. Sinden itu telah menebus kesalahannya pada mamak." Kata kakakku.
"Belum semuanya. Bapak masih hidup."
"Maksudmu, aku harus membunuh bapak?" Kali ini wajah kakakku sepucat nisan kuburan.
"Demi arwah mamak. Bapaklah yang mebunuh mamak." Kakakku terdiam. Lalu lanjutku, "Kamu harus mencuri jimat kekebalan bapak terlebih dahulu. Ada di balik lipatan baju bapak."
"Ya, aku tahu jimat itu. Mamak pernah menceritakannya padaku." Katanya. Suaranya lebih lirih sekarang.
"Berikan padaku, aku tahu cara melemahkan jimat itu." Aku berbohong. Kakakku menatap tanah.
"Kamu punya keberanian untuk membalaskan sakit hati mamak?" Sebuah dorongan aku berikan. Sedikit usikan pada keberanian dan harga dirinya akan membuat kakakku gelap mata. Aku sudah mempelajarinya dengan mengamati bapakku selama umurku. Mengamati bapak sama dengan mengamati kakakku.
"Demi mamak dan kutukan yang di bebankan dunia padaku, kamu tidak usah bertanya tentang keberanianku. Aku akan laksanakan kewajibanku pada mamak." Kali ini mata merahnya berkilat-kilat. Sebotol anggur memabukkan yang aku berikan padanya semakin membutakan kewarasannya dan menjadi penguasa pada pikirannya.
Lalu Kakakku pergi dan menghilang di balik gelapnya malam sambil membawa kilau badik dan tajamnya dendam hasil asahan dariku. Aku masih berdiri di atas makam punden desa, menikmati sinar bulan dan teriakan-teriakan setan di sekelilingku.
Semua cerita yang aku sampaikan pada kakakku adalah kebohongan. Mamak mati karena sakit. Bapak juga terlalu cinta pada mamakku. Lebih baik bapak menyerahkan nyawanya sendiri demi hidup mamak. Semua orang tahu itu, kecuali kebodohan kakakku. Tentang Nyi Rumbini sinden dari desa Ploso, dia memang mati di bunuh perampok. Tetapi bukan aku yang melakukannya.
v
Lalu sebuah berita aku terima. Berita yang telah aku tunggu. Tetapi ada bagian berita yang membuatku terkejut. Kakakku terluka parah terkena sabetan pedang bapak. Dan bapak tewas di tangan kakakku. Aku kaget. Aku tercenung. Bagaimana bisa bapakku tewas di tangan Sadrun? Seharusnya bapak tidak mati. Jimat kebal yang ada di lipatan bajunya seharusnya menjadi pelindung. Lalu untuk apa aku menghasut kakakku? Untuk sebuah jimat yang tidak pernah ada? Aku tercenung. Bukan karena permintaan manik Marpuah, tapi karena jimat kekebalan bapak.
Griya Kebaron, 17-Agustus-2007