Profil seorang gadis SD penjual koran di tayangkan. Saya lupa namanya, cantik, dan terlihat sangat mandiri. Dia sekolah di SD Kenari 01 pagi Jakarta (lokasi tepatnya saya lupa). Dua kali si gadis kecil ini mendapat publikasi. Pertama oleh G- TV di suatu acara sore hari dan terakhir oleh SCTV di acara Panorama Pagi yang di pandu oleh Darius Sinatria dan Donna Agnesia. Jadi tuilisan ini saya buat berdasarkan tayangan kedua stasiun TV tersebut.
Setiap pulang sekolah, dia langsung menjajakan korannya. Ibunya yang mengajarinya (saya yakin dengan setengah hati) karena dia anak yatim yang harus berjuang bersama ibunya. 20 puluh ribu dia bisa dapatkan setiap harinya.
Si gadis kecil (yang sayangnya saya lupa namanya) selalu menjajakan korannya dengan seragam sekolah. Ini menjadi masalah ketika sang kepala sekolah, seorang ibu, menegur dan memintanya untuk melepas atribut sekolah ketika berjualan koran.
Sang ibu kepala sekolah (yang anak-anaknya tentu saja tidak harus membanting tulang dengan berjualan koran, berpanas-panas di bawah sinar matahari, beresiko di perkosa, ngelem dan sejuta kebiasaan buruk jalanan lainnya) mempunyai alasan sendiri atas teguran tersebut: DISIPLIN.
“Kami pihak sekolah memiliki aturan untuk menerapkan pembelajaran atas dasar disiplin. Seorang murid harus bisa membedakan antara waktu sekolah dan waktu di luar sekolah. Atribut sekolah hanya untuk di sekolah...,” demikian kata si ibu kepala sekolah yang disiplin tersebut ketika di wawancarai.
Atas nama disiplin. Menarik. Bukankan salah satu perilaku yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah disiplin? (semut berarak mencari makan karena naluri, bukan disiplin. Manusia bangun pagi lalu bekerja, itu yang di namakan disiplin.)
Ada hal lain yang mengiris hati. Ini penuturan si gadis kecil penjual koran tersebut ketika di wawancarai, “ibu kepala sekolah juga pernah bilang sama saya: “.....anak sialan. Sudah di bilangi jangan pakai seragam waktu jualan masih saja pakai seragam.”
Anak sialan. Sebuah ucapan dengan makna yang tidak lucu ketika di ucapkan pada tataran seorang intelektual pendidik. Seorang guru yang harusnya memberikan teguran ketika muridnya mengucapkan kalimat tersebut.
Ada fenomena yang saya anggap menarik ketika menyaksikan tayangan tersebut. Awalnya tulisan ini saya buat sebagai bahan perenungan. Kata lagu, ada awal tentu ada akhir. Jadi, awalnya adalah sebagai bahan perenungan dan akhirnya adalah sebuah tulisan hasil perenungan.
Tidak ada maksud untuk menghakimi, meskipun mungkin hal tersebut tidak terhindarkan pada perenungan dangkal yang saya lakukan. Kalau toh ada kesan menghakimi, percayalah, itu karena saya tidak ingin mernghindar.
Perenungan pertama saya menghasilkan teori If She...
1. If She...
Bagaimana jika si gadis kecil itu bukan seorang koran. Taruhlah dia seorang bintang sinetron yang pintar bersandiwara dan salah satu sinetronnya mampu menguras air mata sang ibu kepala sekolah yang disiplin tersebut?
Saya bayangkan, sekali lagi saya hanya membayangkan (hanya membayangkan tidak pernah salah), sang ibu kepala sekolah tersebut akan berteriak-teriak dari waktu ke waktu mengabarkan bahwa si bintang sinetron tersebut adalah muridnya. Murid kesayangannya. Murid yang setiap hari bermanja-manja padanya. Setiap saat berputar-putar mengelilingi kakinya seperti seekor kucing kecil yang manis.
Atau bagaimana jika si gadis anak seorang pejabat? Dan keluyuran ke mall bersama ibu atau pengawalnya dengan atribut sekolah? Apakah si ibu kepala sekolah memiliki keberanian untuk menegur? Dan ketika si anak tersebut (sekali lagi, andaikan dia anak pejabat) masih mengulangi perbuatannya, apakah si ibu kepala sekolah memiliki keberanian untuk mengatakannya sebagai anak sialan?
Hanya retorika. Tidak perlu di jawab.
Sampai akhir perenungan pertama, saya masih penasaran dengan jawaban dari teori If She ....
Anda punya jawabannya?
Perenungan saya selanjutnya adalah alasan sang ibu kepala sekolah
2. Perenungan tentang alasan dan pembenaran
Pertanyaan yang timbul pada perenungan saya selanjutnya adalah: “pada batas mana alasan si ibu kepala sekolah dapat di pahami? Aktifitas luar sekolah macam apa yang bisa beliau toleransi?”
Perenungan saya selanjutnya kembali pada kenangan masa SMP.
3. Kenangan masa SMP
Perenungan ketiga saya tidak terlepas dari kunjungan seorang teman akrab semasa SMP. Sebuah kejutan setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Hanya saling tahu kabar dari rentetan kabar teman-teman yang lain.
Teman saya itu cerdas dan berasal dari keluarga kelas menengah terdidik. Saat ini teman saya tersebut bekerja di sebuah industri penerbangan. Sebelumnya dia mendapatkan beasiswa pendidikan di Jerman mengikuti program-nya pak BJ Habibi.
Yang selalu menjadi ikatan bagi dua orang yang berteman adalah moment-moment yang pernah di jalani bersama. Karena teman saya tersebut adalah teman SMP, maka cerita yang muncul adalah cerita-cerita lama sewaktu SMP.
Banyak cerita yang muncul; dari meledakkan knalpot guru killer dengan mercon (nggak ketahuan sampai sekarang), menaburkan rawe (buah berbulu yang gatalnya minta ampun) ke bak mandi toilet sekolah (ketahuan, sebulan nyabuti rumput sekolah), sampai ke cerita-cerita serius yang membangkitkan romantisme putih biru.
Salah satu pertanyaan teman saya (yang lama tidak pulang ke Surabaya) adalah: ” Ibu Weni kabarnya gimana?”. Ibu Weni adalah guru matematika. Pernah menjadi wali kelas kami ketika kelas dua. Orangnya tinggi langsing dengan rambut keriting, tegas dan sangat keibuan. Ingatan saya langsung kembali ke masa sulit SMP.
Ceritanya begini:
Sewaktu kelas satu, saya dan teman saya itu masuk rangking tiga besar kelas paralel ketika semester pertama. Bukan pamer, tapi cukup membanggakan.
Sewaktu semester dua, teman saya masih pada posisi rankingnya yang baik dan benar. Sedangkan saya melorot sampai ke rangking 150 dari 160 orang siswa! Hebat. (itulah bukti kalau saya cerita apa adanya...)
Lalu kita naik kelas dua dan ibu Weni menjadi wali kelas kami. Ketika menjadi wali kelas, saya yakin ibu Weni memeriksa track akademik setiap anak kelasnya. Termasuk track saya. Setiap hari, selama hampir tiga bulan, ibu Weni selalu memanggil saya setelah pulang sekolah. Bukan untuk memarahi, menegur atau bahkan menggurui.
Beliau mengajak bicara. Hanya bicara. Banyak pembicaraan. Banyak percakapan. Ada banyak pembicaraan. Waktu itu saya tidak begitu mengerti maksud semua pembicaraan tersebut (maafkan saya, bu...). Tapi yang jelas kita menjadi akrab dan selanjutnya nilai-nilai saya menjadi lumayan.
Sekarang, saya memahami semua maksud pembicaraan itu. Ibu Weni, layaknya seorang ibu, telah memberikan wawasan bagi saya. Banyak wawasan. Mengembalikan rasa percaya diri saya.
Beliau tidak mengangap profesi guru hanya sebagai profesi untuk mencari uang. Tetapi lebih dari itu. Beliau telah menjalankan profesi-nya dengan ideal (menurut saya). Seorang guru sekaligus seorang ibu yang baik. Saat ini dan hari-hari ke depan, saya menganggap ibu Weni sebagai seorang ibu. Dengan penghormatan yang se-hormat-hormatnya.
Lalu sekarang, ketika mengetik dan merenung tentang si gadis penjual koran dan ibu kepala sekolah yang disiplin, ada sebuah pertanyaan yang melintas di kepala saya:
“Kelak, sebagai apakah si ibu kepala sekolah yang disiplin tersebut akan di kenang? Apakah si gadis penjual koran akan mengenangnya sama dengan cara saya mengenang ibu Weni?”
Atau pada pertanyaan yang lebih besar, sebagai apakah peradaban akan mengenang ibu kepala sekolah yang disiplin ini?
Labels: renungan