(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=void 0!=f?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(void 0==f)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=0=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; 0=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&0=b&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Wednesday, April 16, 2008
Penerbit Novel Indonesia di Jerman; catatan tentang novel Saman Ayu Utami yang terbit di Jerman

Catatan terpenting saya tentang artikel di bawah ini adalah informasi menarik tentang keberadaan sastra Indonesia di Jerman, terutama adanya penerbit di Jerman yang mau menerbitkan karya sastra Indonesia.
Silakan memetik pelajaran yang lain dari artikelini.

======================================================================


Artikel Perempuan
Jumat, 11 April 2008


Penerbit Horlemann dan Kesusasteraan Indonesia di Jerman

Oleh: Sri Ningsih


(Catatan atas tulisan Katrin Bandel di Harian Republika, Membongkar Kasus `Politik Sastra Gombal', 23 Maret 2008).




Novel Saman karya Ayu Utami telah diterjemahkan dan diterbitkan di Perancis dan Jerman serta pemberian Prince Claus Award untuk Saman telah mengundang diskusi dan perdebatan yang cukup hangat dalam mailing list Jurnal Perempuan. Perbedaan terjadi dengan munculnya beberapa esei Katrin Bandel di Republika beberapa waktu yang lalu.

Beberapa tahun yang lampau, seorang anak muda pernah mempertanyakan "bagaimana sejatinya kearifan bisa dicapai? Apa bentuknya? Dan bagaimana pula ukurannya? Apakah kearifan adalah semata-mata sekumpulan teori dan adagium—atau sebaliknya, dibutuhkan kerangka dan cara pandang lain untuk mendapat penjelasan yang lebih masuk akal (?) Atau sedikit "bergenit" dengan istilah ilmiah: lebih empirik dan emplementatif?" (Agus Haryadi, 16 November 2004).

Pertanyaan ini menjadi aktual dalam menghadapi perbedaan pendapat baru-baru ini dalam memberikan penilaian terhadap Saman dan penulisnya. Sayang sekali, diskusi yang cukup hangat itu, hanya berputar-putar di sekitar kehidupan pribadi penulisnya—terutama hal-hal yang dianggap kelemahan-kelemahannya, bukan penilaian terhadap Saman sebagai hasil karya sastra. Perbedaan akan selalu dibutuhkan untuk bisa terus maju. Masalahnya, apakah kita sudah cukup menggunakan sekadar kearifan yang ada? Sehingga perbedaan-perbedaan itu bisa dihadapi dengan tujuan mencapai langkah-langkah yang lebih jauh maju.

Horlemann Verlag adalah penerbit yang menerjemahkan dan menerbitkan Saman di Jerman, yang disebut oleh Katrin Bandel "hanya penerbit kecil dan nama Ayu Utami hanya dikenal segelintir orang di Jerman" oleh karena itu "penerbitan Saman tersebut bukanlah sebuah peristiwa besar". Apa ukuran besar kecilnya Penerbit Horlemann itu? Apakah yang dimaksud `besar-kecil' adalah jumlah omsetnya? Berapa kali bisa "melakukan obral buku" dan menurunkan harga yang disebabkan oleh over produksi? Apakah ukuran stand di Pameran Buku di Frankfurt? Apakah publikasinya di media-media besar? Atau penerbitannya yang bisa
disinetronkan, lantas ia bisa disebut penerbit besar?

Dari segi fisik, memang Horlemann hanyalah sebuah penerbit kecil. Kalau dilihat dari ukuran gedung, jumlah pegawai, dan jumlah agennya. Kalau dibandingkan dengan Springer, atau Burda, atau RoRoRo di Jerman, Horlemann tentulah "hanya penerbit kecil, imut-imut'. Tetapi tunggu dulu, tengoklah hasilnya! Horlemann tidak hanya menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya dari Indonesia, namun dari hampir semua negara Asia Tenggara: Vietnam, Kamboja, India, Malaysia. Juga dari beberapa karya dari negara Amerika Latin, Afrika dan lain-lain. Kadang Horlemann justru menerbitkan karya-karya "kecil" dari Dunia Ketiga yang dikenal hanya oleh "segelintir orang". Disinilah letak kebesaran Horlemann. Membuat penulis atau sastrwan yang tidak dikenal, menjadi dikenal. Membuat dari yang segelintir menjadi dua, tiga, seribu gelintir. Membuat publik Jerman mengenal dan bisa membaca karya-kaya
dari berbagai bangsa dan tradisi-tradisi di luar Jerman.

Perjuangan Horlemann untuk terus memperkenalkan karya-karya kecil dari Dunia Berkembang merupakan jembatan di bumi manusia yang "tak kan lekang oleh panas, tak kan lapuk oleh hujan". Juga tidak oleh perubahan klima. Untuk Indonesia saja, sudah beberapa hasil karya penulis Indonesia yang sudah diterbitkan oleh "penerbit kecil" ini. Mulai dari Armin Pane sampai Umar Kayam. Juga Leila S. Chudori dan sekarang Ayu Utami. Kunjungan Pramoedya Ananta Toer dan keliling Jerman di tahun 1999, antara lain didukung oleh Horlemann Verlag, dan bukan oleh penerbit lain. Buat pencinta sastra Indonesia di Jerman,
penerbit Horlemann memiliki tempat istimewa tersendiri.

Di setiap Pameran Buku di Frankfurt, stand Horlemann terasa kecil memang apabila dibanding dengan penerbit-penerbit besar lainnya. Tetapi, ketegarannya untuk tetap bertahan dan hadir bukan hal yang sepele. Di pasaran buku Jerman, Horlemann nampak bagaikan ikan kecil yang sigap dan berani berenang di perairan yang penuh arus, di tengah ikan kakap dan hiu yang sewaktu-waktu bisa menelannya. Seperti pedagang kecil namun tangguh berjualan di tengah persaingan pasar bebas yang kejam.


Kleine Schritte, grosse Wirkung, langkah kecil, berakibat besar!

Aachen, 09 april 2008.


Sumber:
http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C-88%7CX



posted by FerryHZ at 9:12 PM | Permalink |


0 Comments: