Artikel lama dari Republika tentang trend novel 2007. Sampai bulan Oktober 2007 (penghujung tahun) ternyata novel genre sejarah masih di sukai, terbukti dengan laris manisnya novel Candi Murca karangan Langit Kresna Hariadi, maka tidak ada salahnya saya sampaikan ulasan ini di blog saya.
Sudah banyak novel sejarah hadir dalam khazanah sastra kita. Waktu SD, saya sempat baca Suropati dan sekuelnya, Robert Anak Suropati (Abdul Muis) sampai menangis-nangis. Di zaman kini orang boleh berdebat mana lebih menarik atau berhasil mengolah sejarah, misalnya antara Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) atau katrologi Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer).
Remy Sylado juga intens mengolah tema ini, Hermawan Aksan menulis Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit, Emil W Aulia menulis Berjuta-Juta dari Deli. Persis pada momen bersejarah, 30 September, Noorca M Massardi tahun lalu meluncurkan September, novel sejarah setebal 619 hlm yang ditulis dengan gaya parodi.
Novel sejarah senantiasa fokus pada konteks periode, sosial-politik, dan tempat. Genre ini sudah lama melibatkan tanggung jawab para penulisnya agar memberi gambaran yang sebenarnya tentang sebuah zaman atau fakta. Indonesia kaya peristiwa dan sejarah, tapi tampaknya upaya pencatatan sejarah bisa dibilang masih minimal. Asvi Warman Adam, misalnya, pernah mengajukan Pramoedya Ananta Toer sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), meski ditolak.
Tanpa bermaksud menerka-nerka, dari akhir 2006 ke awal 2007 ini kita mudah mendapati novel yang menggali khazanah sejarah, baik karya penulis Indonesia maupun terjemahan. Sekadar mencatat: Tiga Serangkai meneruskan penerbitan trilogi Gajah Mada (Langit Kresna Hadi), Qanita merilis Gelang Giok Naga (Leny Helena), Jalasutra menerbitan Schindler's List (Thomas Keneally), GPU menghadirkan The Historian (Elizabeth Kostova), diteruskan Aditera-Syaamil menerbitkan Pitaloka: Cahaya (Tasaro), sebentar kemudian Matahati menyusul menerbitkan Kisah 47 Ronin (John Allyn).
Saya membatin, banyaknya fiksi sejarah yang terbit di awal 2007 ini apa bukan tanda bahwa genre ini bakal jadi trend hingga akhir tahun nanti? Tentu sulit mengira-ngira. Buku sejenis terbit beruntun sering menimbulkan tanya, apa semua direncanakan, atau penerbit membaca gejala serupa dan menyiapkan respons sebaik-baiknya?
Contoh judul tersebut memberi dua mode pendekatan dalam fiksi sejarah, yaitu (1) catatan dari kejadian nyata, merupakan hasil dari serangkaian riset maupun pembacaan serius atas peristiwa masa lalu; (2) menggunakan periode dan kejadian sejarah sebagai latar belakang suatu kisah.
Buku yang mengolah mode penulisan pertama misalnya Gajah Mada, Schindler's List, Pitaloka: Cahaya, dan Kisah 47 Ronin. Para penulisnya tentu mesti mengumpulkan rincian beragam kisah tentang subjek bersangkutan, baru memutuskan apa sebaiknya mengagungkan seserpih kisah tertentu atau meleburnya menjadi bagian dari peristiwa lain.
Hermawan Aksan mengaku menghabiskan lebih dari satu bulan untuk berkutat dengan segala jenis arsip yang mendukung penulisan Dyah Pitaloka, Thomas Keneally mesti mengunjungi berbagai narasumber yang tersebar di berbagai benua, John Allyn berusaha menghidupkan lagi kisah heroik di Jepang yang terjadi dua abad lalu. Kadar faktual kesejarahannya lebih kental.
Jenis kedua dengan baik diwakili Gelang Giok Naga dan The Historian. Kedua novel ini memanfaatkan peristiwa dan periode sejarah tertentu, lalu dengan halus menyelipkan kisah. Leny Helena di Gelang Giok Naga memanfaatkan sejarah panjang dinamika akulturasi etnis Tionghoa Indonesia, termasuk waktu masa gelap dan periode menyakitkan bersamaan kelahiran Reformasi '98. Sementara, Elizabeth Kostova menelaah banyak arsip dan mitologi tentang vampir di berbagai tempat dan periode, menemukan hal baru yang mengejutkan.
Upaya menerbitkan novel sejarah patut terus diupayakan agar kita dapat tambahan wawasan. Dalam konteks keindonesiaan, bagaimana upaya meningkatkan penulisan fiksi sejarah, mengumpulkan, mengolah, dan menarik kesimpulan dari data-fakta sejarah maupun arsip, catatan, dan surat, tentu akan semakin menarik bila kita bisa sekalian mendapat pengajaran dan peristiwa masa lalu, karena kita seakan-akan berkesempatan bisa membangun masa depan lebih baik.
Manusia bermain-main dengan kenyataan dan cerita yang pernah didengarnya. Mereka menafsir sesuai penglihatan atau keyakinan, dan itu bisa membuat pandangan bisa jadi sangat berbeda. Di dalam Dyah Pitaloka, Gajah Mada menjadi oknum. Sementara, di dalam Gajah Mada, dia jadi protagonis. Genre ini memungkinkan aspek sejarah atau tokoh yang selama ini tersingkir atau sulit meraih perhatian massa secara pantas bisa maksimal menampilkan kualitas diri maupun peran yang dulu dia ambil.
(Anwar Holid )Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=287453&kat_id=319