“Aku ingin sendiri mbok. Tinggalkan aku,” begitu kata
“Saya kasihan sama nonik, Den. Seharian dia hanya termenung, makanan yang saya siapkan juga tidak di sentuh sama sekali.” Mbok Mi memelas mengadu pada Papa Sofia di ruang tamu.
“Lakukan sesuatu, Pa. Apapun, aku tak tega melihat
“Sabarlah barang sebentar, ma. Beri dia waktu. Aku yakin semuanya akan normal lagi beberapa waktu ke depan. Bersabar, ya…” suara papa
Dan dirinya sendiri.
Sabtu sore. Hari yang ku tunggu-tunggu.
Di jam begini
Aku teringat masa-masa pertama kali mengenal
Akhirnya keberuntunganku yang pertama datang ketika dia mengajukan pertanyaan dan aku memiliki kompetensi untuk menjawabnya. Mata kami jadi sering bertatapan ketika itu. Keberuntungan keduaku datang ketika aku bertugas untuk membagikan snack dan minuman. Mata kami jadi lebih sering bertemu. Dan keberuntunganku yang ketiga, keberuntungan terbesarku, ketika aku mengetahui rumahnya ternyata hanya beberapa gang saja dari rumahku.
Pertemuan selanjutnya (yang lebih akrab) terjadi ketika aku membeli buku tulis di toko Berkah Utama milik pak Umar.
Aku sering membaca surat-surat cinta Bung Karno yang di tulis buat Dewi Soekarno. Berulang-ulang kubaca tanpa pernah bosan sampai aku hafal setiap kata-kata dan tanda bacanya. Aku bahkan dapat membayangkan aura romantisme saat Bung Karno menuliskan surat-surat itu. Perasaan menggebu seorang lelaki yang sedang jatuh cinta terbalut dengan kewibawaan kata-kata seorang pemimpin bangsa dan presiden. Luar biasa. Aku bayangkan diriku sebagai Bung Karno dan
Bagian yang paling aku suka, dan paling aku hafal sejak pertama sejak membaca surat-surat mereka, adalah pada bagian penutup. With my thousand kisses. Aku sering bahkan hampir selalu mengutip kalimat itu buat
Aku telah berpakaian rapi sekarang, serba putih dengan aroma parfum yang semerbak. Hanya baju putih yang menjadi pilihanku. Sejak peristiwa menyakitkan seminggu yang lalu, tepat seminggu yang lalu, pilihan pakaianku hanya putih. Tapi aku tak keberatan, aku suka dan aku yakin Sofiapun akan menyukai penampilanku. Aku terlihat tampan dengan penampilanku. Beberapa teman baruku bilang wajahku terlihat lebih bersinar sejak peristiwa yang menyakitkan minggu lalu.
Aku lewati garasi, di pojokan bersebelahan dengan mobil bapak, kulihat motor merah kesayanganku. Ringsek dengan warna merah yang hampir tak terlihat. Bercak darah masih terlihat di sana-sini. Bapak dan ibuku dengan rasa sayangnya tentu menyimpan motor itu untuk kenang-kenangan. Aku tidak berniat untuk menggunakan sepeda motor itu lagi. Hari ini aku ingin berjalan kaki, menyusuri jalan-jalan tempat di mana aku sering melewatinya bersama
Aku melewati toko Berkah Utama, toko milik pak Umar yang dagangannya lengkap menyediakan banyak kebutuhan. Di toko pak Umar inilah biasanya aku mampir membeli sebatang coklat untuk
Yah, tubuh ramping ramping
Suara klakson dan bel motor terdengar riuh di belakangku (aku selalu menganggapnya isyarat iri) ketika aku mulai memasuki halaman rumah
Seringkali kami juga memanggil pak Rochim, penjual bakso daging sapi yang biasanya lewat depan rumah. Aku mengenal bakso pak Rochim juga karena
Aku langsung duduk di sebelah kanan
“Aku menunggumu, kak Johan…” kata-kata
“Aku tahu
Sejak peristiwa menyakitkan itu, aku harus berurusan dengan banyak hal, berhitung dengan hal-hal yang tidak sanggup aku kendalikan. Tetapi segala urusan yang menguras enerji dan pikiranku itu tidak mampu menghalangiku untuk memikirkan
“Aku selalu berfikir, apa yang terjadi, mengapa terjadi, apa yang sedang kakak lakukan sekarang. Aku nggak mau sendiri kak Johan, terlalu sepi.”
“Aku baik-baik saja
Bahkan setelah peristiwa yang menyakitkan itu, aku masih memikirkan
“Aku merindukan kak Johan sekarang. Lebih dari hari-hari yang lain…” kali ini butir-butir bening air mata mulai mengalir dari mata indahnya. Pantulan rembulan dan bintang-bintang berubah menjadi awan lalu berjatuhan seperti tetesan air hujan. Deras membentuk aliran sungai menuruni pipinya. Tidak terlihat lagi dekik lesung pipi yang selalu memikatku.
Aku mendekatkan tanganku ke pipinya, berusaha menghapus air mata
Seminggu sebelumnya.
Johan mengunci kancing jaketnya. Dia berdiri dan mulai melangkah menuju sepeda motornya setelah berpamitan pada orangtua
“Ati-ati ya kak,” salam perpisahan
“Terimakasih, Sofi. Aku pulang sekarang,” Johan bersiap menstarter sepeda motor merahnya sebelum menyadari sesuatu telah terlewatkan. “O, ya. Ini foto yang di
“Terimakasih kak. Hampir lupa,”
Johan menstarter sepeda motornya dan segera meninggalkan rumah
Sampai Johan tiba di tikungan menuju jalan utama, sebuah mobil box besar berbelok tepat di jalur sepeda motornya. Hantaman keras tidak dapat di hindari lagi. Mobil box besar melawan sepeda motor merah Johan. Kecelakaan itu demikian hebatnya sampai Johan terlempar ke belakang meninggalkan sepeda motornya dalam keadaan ringsek. Orang-orang berteriak dan berlarian ke arah Johan yang tergeletak di aspal. Pak Umar berada di antara kerumunan orang dan segera mengenali Johan.
“Astaga! Ini nak Johan, temannya neng
“Dia sudah meninggal…” pak Umar menoleh ke kerumunan orang-orang berusaha mencari pertolongan yang sia-sia.
Johan meninggal di tempat akibat kecelakaan itu. Sebuah kecelakaan yang menjadi peristiwa paling menyakitkan baginya.
Dan bagi