(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=void 0!=f?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(void 0==f)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=0=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; 0=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&0=b&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Sunday, March 9, 2008
Cerbung: Awan 66


Cerita tentang peristiwa seputar G30S/PKI. Awalnya saya hanya berniat membuat sedikit coretan dan cerpen. Ide-ide yang datang membuat saya memutuskan untuk membuat cerbung, agar tersedia ruang yang lebih banyak.
Kalau masih ide lagi, mungkin berlanjut ke novel.

Silakan dibaca, dinikmati dan membuat persepsi.


========================================================================



Bab 1
Awan gelap desa Paras







Oktober 1966


Awan gelap telah menyelesaikan tanda-tandanya. Butiran air hujan perlahan jatuh dan semakin keras. Desa Paras, Kediri, berada tepat di bawah awan yang paling gelap. Sebagian besar orang pasti berlindung ke menghadapi hujan sederas ini. Tetapi tidak bagi keramaian di salah satu jalan menuju sungai di desa Paras.

Sekelompok orang sedang mengejar seorang laki-laki. Bajunya compang-compang terkena siksaan dan tergores carang-carang tajam barongan bambu. Orang itu, bernama Sarmuji, terengah-engah berusaha menyelamatkan kepingan jiwanya dari amarah para pengejar. Sesekali dia menoleh. Sesekali lemparan baru mengenainya. Dia berlumuran daraah dari ujung kaki sampai ujung kepala. Derasnya hujan berbaik hati membasuh tetesan dari yang mengalir. Dan amarah para pengejarnya makin menjadi-jadi.

Di antara sesekali tolehan, Sarmuji dapat mengenali para pengejarnya. Dia mengenali mereka semua. Sebagian besarnya adalah karib. Lalu semuanya berubah. Karib-karibnya yang berbagi gelas kopi tadi malam sekarang telah berubah garang dan siap melumat dirinya siang ini.

“Cincang Sarmudji !!!” Teriak seseorang yang berada di barisan terdepan. Barisan yang diisi oleh orang-orang dengan dendam paling membara. Entah dendam karena apa, Sarmudji tak pernah paham. Dia hanya berusaha lari sekuatnya. Tapi dia mengenali suara itu. Suara Suratno. Limabelas tahun yang lalu ketika istri Suratno melahirkan, dia dan istrinya yangs sedang hamil tua menyerahkan seperangkat perlengkapan bayi. Perlengkapan bayi yang dia siapkan untuk kelahiran anaknya. Suratno berterimakasih dan bukan kepalang. Kepalanya sampai menyentuh bumi. Pemberian Sarmudji menghindarkan bayinya dari dinginnya malam kota Kediri. Mungkin, tanpa pemberian itu dia akan kehilangan bayinya. Sutomo, begitu akhirnya nama bayi mungilnya di beri nama. Sarmudji yang memberinya nama.

Sarmudji terus berlari. Dia telah sampai di pinggiran sungai. Cukup dalam tetapi dia bertekad untuk melewatinya. Berharap dapat menyeberang dan dan sampai di desa seberang sungai. Adiknya berada di sana. Seorang polisi yang kini menjadi tumpuan bagi skeeping jiwanya yang sedang diburu.

“Dia mau menyeberang !!! Bunuh !!!” Suara garang yang lain. Suara Sutomo yang sekarang sedang beranjak dewasa. Dia tumbuh bersama emosi dan dendam membara sekarang. Sutomo, yang dari dirinyalah namanya berasal, sekarang menjadi salah satu pemburunya. Di sela-sela deras hujan Sarmidji menangis. Sebagian karena ketakutan dan sebagian karena nelangsa. Anak istrinya entah berada di mana. Teman-teman sedesanya sekarang menjadi bringas kesetanan. Memburu, melempari batu dan menyiksanya tanpa ampun.

Sarmidji masih berlari. Sebagian tenaganya telah hilang. Arus deras sungai dilawannya. Sesekali dia terdorong, terjatuh lalu bangkit lagi. Tangannya menggapai-gapai berusaha mencari pegangan. Tinggal beberapa meter sebelum dia sampai di seberang sungai. Enerji ketakutan telah membuatnya sangat kuat.

Di belakangnya, enerji dendam juga sedang memburunya. Jauh lebih beringas dan kuat dari dirinya. Suratno ada di barisan paling depan, bersenjata arit berkilau dan bongkahan-bongkahan batu, dia terlihat seperti pemimpin mereka.

“Kejar terus !!!” Teriaknya. Sarmudji mulai kehabisan tenaga. Sementara para pengejarnya makin beringas. Setiap Sarmudji terjatuh, semakin mereka bersemangat. Kini jarak antara Sarmudji dan para pemburunya semakin dekat. Selemparan batu dapat meremukkan kepalanya.

Sarmudji semakin ketakuta. Dia menoleh. Wajah Suratno semakin jelas. Kilau arit di tangannya membuatnya bergidik.

“Lempar !!!” Teriakan-teriakan para pengejarnya. Sarmudji makin merinding.

Dia menoleh sekali lagi dan melihat Suratno sedang mengambil ancang-ancang hendak melemparkan aritnya. Dia semakin mempercepat langkahnya.

Pada tolehannya yang terakhir, Sarmudji dapat melihat kilau arit terbang kearahnya. Deras melaju tepat ke arah lehernya.

Sarmudji tahu, hidupnya sudah berakhir….



ooOOoo
 


Beberapa bulan sebelumnya


Belum pernah Ali Ebram segemetar sekarang. Bung Karno berada di depannya. Wajah tenang sang proklamator sedikit berubah.

“Ketik hati-hati, Ali,” suara Soekarno sedikit menenangkan pikirannya.

“Inggih, pak,”

“Mohon maaf, saya mengetik dengan keseso,” Ali Ebram menghampiri presiden Soekarno sambil meyerahkan selembar kertas berisi hasil ketikannya.


Bersambung……….
*Kapan-kapan



9-Maret-2008
Ferry Herlambang



posted by FerryHZ at 8:08 AM | Permalink |


0 Comments: