Oleh SONI FARID MAULANA
SEJAK jauh hari, pujangga Jawa penutup, Ronggowarsito (1802-1873) dalam Zaman Cacat menulis: .http://ferryzanzad.multiply.com/ padahal jika dicerna/jadi pejabat untuk apa/ bila menanam benih dosa/ disiram air lupa/ hanya akan berbunga bencana.// Ya, untuk apa jadi pejabat bila tidak bisa memimpin. Lebih dari itu, untuk apa jadi pejabat dalam konteks apa pun bila pada akhirnya ia menyalahgunakan kekuasaan yang tengah disandangnya itu, seperti melakukan tindak korupsi selain bertindak represif terhadap bawahannya, atau terhadap rakyat yang tengah dipimpinnya.
Betapa apa yang dinamakan tindak korupsi di negeri ini telah menyebar dan bahkan mengakar ke berbagai sektor kehidupan. Namun anehnya, tak ada seorang koruptor pun yang mau menyelenggarakan “Hari Korupsi Sedunia”. Padahal bagi para koruptor menyelenggarakan hari peringatan semacam itu adalah penting adanya, bahwa mereka telah sukses menguras uang negara, perusahaan, atau uang apa saja yang didapatnya secara tidak halal demi kepentingan dirinya sendiri, yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain. Berdasarkan apa yang dilaporkan oleh berbagai media massa, rata-rata mereka yang melakukan tindak korupsi itu adalah orang-orang pintar, cerdas, dan beragama.
Jika para koruptor tidak mau menyelenggarakan hari semacam itu, karena malu dan sebagainya, maka ada baiknya negara menyelenggarakannya. Pada hari itu para koruptor yang sudah divonis bersalah oleh pengadilan itu dihadapkan ke regu tembak, untuk ditembak mati tentunya. Niscaya setiap “Hari Korupsi Sedunia” tiba -- kita akan selalu mendapatkan daftar nama paling baru, tentang para koruptor yang mati pada hari itu, di depan regu tembak.
"Tapi undang-undang di negeri ini belum memungkinkan untuk itu. Negeri kita bukan negeri seperti Korea atau Cina yang keras terhadap para koruptor," ujar seorang teman yang frustrasi melihat negerinya babak belur dihajar para koruptor, dikuras harta kekayaannya hingga tandas. "Mereka baru bisa digiring ke penjara. Di dalam penjara sendiri hidup mereka belum tentu semenderita para maling ayam," jelasnya pula.
**
Jika kita mengacu kepada segala bentuk pertanyaan yang kita bongkar dengan ala pikiran Jacques Derrida lewat konsep dekonstruksi, haruskah sikap eling hadir dan mengalir di dalam diri manusia -- setelah ia terlebih dahulu melakukan tindak kejahatan? Lebih tepatnya haruskah sikap eling itu hadir setelah menelan buah penderitaan dari tindak kejahatan yang telah dilakukannya itu? Jika demikian lantas eling itu apa? Apakah setiap tindak korupsi yang dilakukan oleh para oknum itu, dilakukan dalam konteks eling dalam pengertian yang lain?
Jika tindak korupsi itu dilakukan secara sadar oleh mereka, maka kesadaran yang muncul pada saat itu adalah kesadaran untuk menghindarkan diri dari bahaya kelaparan dalam pengertian seluas-luasnya, yang menghindarkan diri dari konteks spiritual. Apa sebab? Ketika hidup mewah yang dikejar, maka yang diberhalakan adalah nafsu. Seruan firman Allah SWT yang mengajak manusia kepada jalan yang lurus diabaikannya dengan penuh nafsu.
Jadi kesadaran yang hadir dalam diri si oknum ketika ia melakukan tindak korupsi pada saat itu -- jelas sudah bukan dalam konteks eling yang mengajari manusia bahwa jati dirinya adalah makhluk spiritual, yang mendorongnya untuk selalu berpegang kepada spiritualitas yang tidak lain adalah inti dirinya terdalam.
Untuk itu, ketika tindak korupsi dilakukan oleh si oknum, apa yang dinamakan sikap waspada terhadap segala upaya yang bisa mengotori dan mencemari batinnya itu tidak ada. Jika pun ada sikap "waspada" yang dibangun di dalam dirinya, adalah bagaimana caranya agar ia bisa bebas dari jerat hukum ketika dirinya kelak dihadapkan ke muka pengadilan. Sikap waspada yang demikian adalah sikap waspada yang palsu, yang berpihak pada nafsu, yang membayangkan dirinya sebagai manusia yang bersih, bercitra tinggi, padahal di balik semua itu bopeng-bopeng adanya.
Untuk itu tak aneh kalau kelucuan-kelucuan sering pula kita lihat di pengadilan secara fisik, yakni ketika si terdakwa dihadapkan di ke meja hijau, ia pasti berpakaian rapi, pakai peci, seakan-akan mencitrakan dirinya sebagai orang suci. Padahal maling yang tetap maling. Berkaitan dengan itu, lebih lanjut Ronggowarsito berkata: Hidup di zaman edan/ gelap jiwa bingung pikiran/ turut edan hati tak tahan/ jika tidak turut/ batin merasa dalam penasaran/tertindas dan kelaparan/ tapi janji Tuhan sudah pasti/ seuntung apapun orang yang lupa daratan/ lebih selamat orang yang menjaga kesadaran//
Menjaga kesadaran, itulah rupanya yang harus dilakukan oleh siapa pun saat ini agar tidak melakukan tindak korupsi serta tindak-tindak pidana lainnya yang mampu mengotori rohaninya sendiri. Menjaga kesadaran dalam pengertian yang luas bisa juga menjaga keluarga dari segala hal yang buruk. Anthony Giddens dalam bukunya Jalan Ketiga mengisyaratkan bahwa menjaga negara dari segala hal yang membuatnya terperosok dalam berbagai krisis -- bisa dimulai dari seberapa jauh masyarakat yang ada di negara itu mampu menjaga keluarganya dari segala tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota keluarganya.***
Penulis, penyair dan wartawan "PR".
Sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/19/99fokus.htm