(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=void 0!=f?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(void 0==f)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=0=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; 0=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&0=b&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Sunday, August 10, 2008
Sekeping ingatan; episode Marwoto (1)
Ferry Herlambang Zanzad


Aku bernama Marwoto

Ada empat kucing di rumah Salamun. Tiga betina dan seekor jantan. Yang betina berwarna kembang telon dan sang pejantan berbulu hitam lebat. Ukuran tubuh kucing jantan milik Salamun luar biasa besar. Matanya hijau berkilat-kilat dan ekornya selalu terangkat. Ketika berjalan, kucing jantan itu laksana raja dunia.

Aku baru mengenal Salamun sebulan ini dan melihat kucing jantannya. Aku langsung jatuh cinta dan kemudian merengek tanpa ampun pada bapakku. Aku ingin memiliki kucing jantan Salamun.

ooOOoo


Aku mengenal mamak selalu berusia sangat muda. Entah karena memang usia mamak atau karena bedak dan gincu tebalnya. Berbeda dengan bapak yang semakin hari semakin rapuh oleh sapuan penyakit dan angin malam sawah. Bapakku adalah buruh tani yang berangkat jam 2 tengah malam dan pulang esok sore harinya. Tubuhnya biasa terendam dingin dan terpanggang matahari. Entah apa warna tubuh bapak tetapi lebih hitam dari lelaki paling hitam yang ada di desa kami.

Aku melihat mamak dan bapak seperti berasal dari dua dunia berbeda. Benar-benar dunia berbeda karena melihat bapak aku dapat melihat warna hitam tetapi dengan sikap seperti kesejukan butir embun. Sedangkan mamak berasal dari kecantikan dunia putih dengan tamparan, makian dan cambukan sepanas api neraka.

Aku melihat keduanya sebagai perpaduan surga dan neraka yang menghasilkan aku. Entah di posisi mana aku berada. Tetapi ketika aku dewasa, aku memutuskan untuk tidak mewarisi tubuh hitam bapakku dan tetapi mengambil warisan mamakku. Aku tumbuih dengan ketampanan surga dan jiwa dari neraka. Atau kadang keduanya. Aku terlalu bingung untuk mengatakannya.


ooOOoo


“Marwoto, bangun!!!” Suara menggelegar emak membangunkan tidurku. Belum sempat kesadaranku pulih ketika ketika aku merasa tenggelam dan terhisap ke pusaran air sungai. Mamak datang dengan seember air dan menyiramkannya ke mukaku. Aku menyambut indahnya pagi dengan nafas tersengal-sengal.

“Sekali lagi kamu bangun kesiangan, aku akan guyurkan seember air ke mukamu!!!” Emak masih dengan raungannya. Suara kemtongan balai desa di pukul empat kali. Jam empat pagi dan mamak menganggapku bangun kesiangan.

Aku segera beranjak ke kamar mandi. Mengambil handuk dan mengelap tubuh basahku. Mengeringkan badan, mengusir rasa dingin tetapi tetap membiarkan rasa sakit hatiku pada mamak tetap menumpuk. Aku menghitung sakit hatiku sambil mengeringkan tubuh.

ooOOoo


“Apalagi yang kamu lakukan hari ini, nak?” Tanya bapak sepulang dari sawah. Kami bertemu di pintu pagar. Aku terdiam dan menunduk. Aku ingin mengadu pada bapak tentang siraman air dan pukulan tongkat yang membirukan sekujur tubuhku. Tapi lidahku kelu. Butir-butir airmata tak mampu aku tahan dan aku mulai sesenggukan. Usiaku lima atau enam tahun saat itu dengan muka penuh debu yang melekat di sisa ingus. Wajahku menyerupai topeng monyet. Aku memang topeng monyet, setidaknya begitu kata semua anak sebayaku. Topeng monyet yang menjadi ejekan di sepanjang usiaku.

Bapak menurunkan cangkulnya lalu berjongkok di depanku. Tangannya yang sekasar batu apung mengelus-elus rambut lalu wajahku. Menyiramkan embun dingin bagi jiwaku. Aku makin terisak. Aku ingin mengadu dan menenggelamkan tubuh kecilku di pelukan bapak. Tapi aku masih terpaku oleh ketakutan pada kilatan mata mamak. Mamak sedang pergi entah kemana mulai pagi, tetapi matanya terasa ada di mana-mana. Aku bergidik.

“Mamakmu belum pulang, nak?” Bapak bertanya lembut. Aku menggelengkan wajahku.

“Kamu tahu dia pergi kemana?” bapak meneruskan pertanyaannya. Aku kembali menggeleng. Pertanyaan seperti ini menjadi ritual kami di sore hari. Karena sepanjang yang aku ingat, mamak selalu pergi pagi dan pulang malam. Entah kemana. Dan bapak selalu memiliki pertanyaan itu, juga di sepanjang ingatanku. Lalu seperti biasanya, bapak menarik nafas dan segera berlalu meninggalkan aku.

ooOOoo


Mungkin aku anak durhaka karena kedurhakaan mamak padaku. Mungkin aku anak durhaka karena aku memang durhaka pada mamakku. Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Tetapi yang pasti pada kedewasaanku yang sekarang, aku memutuskan untuk membenci mamak. Lalu aku memutuskan untuk menambah kebencianku dengan memusuhi kaum mamak. Kaum ibu dan kaum perempuan.

ooOOoo

Suroso melamarku di suatu sore. Dia laki-laki gagah dengan kulit putih terawat. Putra pak Lurah yang kemayu. Aku mungkin terlihat kemayu juga, tetapi aku lebih suka kalau orang menganggapku memiliki aura kejantanan yang cantik.

Lalu kami berpacaran. Aku dan Suroso menyembunyikan hubungan kami rapat-rapat. Serapat aku menyimpan masa laluku yang kelam. Juga serapah aku menyimpan dan menabur dendam pada siraman air mamak ke mukaku.


ooOOoo


posted by FerryHZ at 8:20 PM | Permalink |


0 Comments: