(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=f!=void 0?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(f==void 0)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=e>0?new b(e):new b;window.jstiming={Timer:b,load:p};if(a){var c=a.navigationStart;c>0&&e>=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; c>0&&e>=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.chrome.csi().startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a==null&&window.gtbExternal&&(a=window.gtbExternal.pageT()),a==null&&window.external&&(a=window.external.pageT,d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.external.startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a&&(window.jstiming.pt=a)}catch(g){}})();window.tickAboveFold=function(b){var a=0;if(b.offsetParent){do a+=b.offsetTop;while(b=b.offsetParent)}b=a;b<=750&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Saturday, February 2, 2008
Romantisme sajak Sanusi Pane (1905)

Sajak-sajak Sanusi Pane yang romantis


Sajak


Di mana harga karangan sajak,

Bukanlah dalam maksud isinya,

Dalam bentuk, kata nan rancak

Dicari timbang dengan pilihnya.

Tanya pertama ke luar di hati,

Setelah sajak dibaca tamat,

Sehingga mana tersebut sakti,

Mengingat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun,

Kata yang datang berduyun-duyun

Dari dalam, bukan nan dicari

Harus kembali dalam pembaca,

Sebagai bayang di muka kaca,

Harus bergoncang hati nurani


Teratai

Dalam kebun di tanah airku

Tumbuh sekuntum bunga teratai;

Tersembunyi kembang indah permai,

Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,

Daun berseri Laksmi mengarang;

Biarpun ia diabaikan orang,

Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, O Teratai Bahagia

Berseri di kebun Indonesia,

Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat,

Biarpun engkau tidak diminat,

Engkau turut menjaga Zaman

Taj Mahal

Dalam Taj Mahal, ratu astana,

Putih dan permai: pantun pualam

Termenung diam di tepi Janma

Di atas makam Arjumand Begam

Yang beradu di sisi Syah Jahan,

Pengasih, bernyanyi megah mulia

Dalam nalam tiada berpadam,

Menerangkan cinta akan dunia.

Di sana, dalam duka nestapa,

Aku merasa seorang peminta

Di depan gapura kasih cinta

Jiwa menjerit, dicakra duka

Akh, Kekasihku, memanggil tuan.

Hanya Jamna membalas seruan.

Kepada Krisyna

Aku berdiri sebatang kara,

Tidak berteman, tidak berkawan,

Tangan tertadah k’atas udara,

Jiwa menjerit disayat rawan.

Hatiku kosong, tanganku hampa,

Tidak ada yang sudah tercapai

ku bermimpi di dalam tapa

Mengingat untung termenung lalai

O Krisyna tiadakanlah kembali

Meniup suling di tanah airku.

Biarkan daku sekali lagi

Jatuh ke dalam jurang gulita,

Supaya lupa, tidak bercita.

Wijaya Kesuma

Di balik gunung, jauh di sana,

Terletak taman dewata raya,

Tempat tumbuh kesuma wijaya,

Bunga yang indah, penawar fana.

Hanya sedikit yang tahu jalan

Dari negeri sampai ke sana.

Lebih sedikit lagi orangnya,

Yang dapat mencapai gerbang taman.

Turut suara seruling Krisyna,

Berbunyi merdu di dalam hutan,

Memanggil engkau dengan sih trisna.

Engkau dipanggil senantiasa

Mengikuti sidang orang pungutan:

Engkau menurut orang biasa.

Arjuna

Aku merasa tenaga baru

Memenuhi jiwa dan tubuhku;

Hatiku rindu ke padang Kuru,

Tempat berjuang, perang selalu.

Aku merasa bagai Pamadi,

Setelah mendengar sabda Guru,

Narendra Krisyna, di Ksetra Kuru:

Bernyala ke dewan dalam hati.

Tidak ada yang dapat melintang

Pada jalan menuju maksudku:

Menang berjuang bagi Ratuku.

Mahkota nanti di balik bintang

Laksmi letakkan d’atas kepala,

Sedang bernyanyi segala dewa.


Kembang Melati

Aku menyusun kembang melati

Di bawah bintang tengah malam,

Buat menunjukkan betapa dalam

Cinta kasih memasuki hati.

Aku tidur menantikan pagi

Dan mimpi dalam bah’gia

Duduk bersanding dengan Dia

Di atas pelaminan dari pelangi

Aku bangun, tetapi mentari

Sudah tinggi di cakrawala

Dan pujaan sudah selesai

O Jiwa, yang menanti hari,

Sudah Hari datang bernyala,

Engkau bermimpi, termenung lalai.

Melati


Kau datang dengan menari, tersenyum simpul,

Seperti dewi, putih-kuning, ramping-halus,

Menunjukkan diri, seperti bunga yang bagus.

Dalam sinar matahari, membuat timbul

Di dalam hati berahi yang suci-permai.

Jiwa termenung, terlena dalam samadi,

O Melati, memandang kau seperti Pamadi,

Kebakaan kurasa, luas, tenang dan damai

Engkau tinggal sebagai bunga dalam taman

Kenang-kenangan: dipetik tidak ‘kan dapat,

Biar warna dan wangi engkau berikan.

Engkau seperti bintang di balik awan,

Terkadang-kadang sejurus berkilat-kilat

Tapi jauh, ta’ ‘kan pernah tercapai tangan


Tanah Bahagia

Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia,

Ketanah yang subur, dipanasi kasih cinta.

Dilangiti biru yang suci, harapan cinta,

Dikelilingi pegunungan damai mulia.

Bawa daku kebenua termenung berangan,

Ke tanah tasik kesucian memerak silau,

Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,

Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan

Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:

Hatiku dibelah sengsara setiap hari,

Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.

O tanah bah’gia, bersinar emas permata,

Dalam duka cita engkau mematahari,

Pabila gerang tiba waktu bersua?

Majapahit

Aku memandang tersenyum arah ke bawah:

Bandung mewajah di dalam kabut.

Jauh di sana bermimpi Gede-Pangrango,

Seperti pulau dalam lautan awan.

Langit kelabu,

Alam muram.

Dan ke dalam hatiku,

Masuk perlahan

Rindu dendam.

Jiwaku meratap bersama jiwa

Gembala yang bernyanyi dalam lembah.

Ratap melayang bersama suara

Kedalam kemuraman

Kehilangan.


Candra

Badan yang kuning-muda sebagai kencana,

Berdiri lurus di atas reta bercaya,

Dewa Candra keluar dari istananya

Termenung menuju Barat jauh di sana.

Panji berkibar di tangan kanan, tangan kiri

Memimpin kuda yang bernapaskan nyala;

Begitu dewa melalui cakrawala,

Menabur-naburkan perak ke bawah sini.

Bisikan malam bertiup seluruh bumi,

Sebagai lagu-merawan buluh perindu,

Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.

Bumi bermimpi dan ia mengeluh di dalam

Mimpinya, karena ingin bertambah rindu,

Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam

Candi Mendut

Di dalam ruang yang kelam terang

Berhala Budha di atas takhta,

Wajahnya damai dan tenung tenang,

Di kiri dan kanan Bodhisatwa.

Waktu berhenti di tempat ini

Tidak berombak, diam semata;

Azas berlawan bersatu diri,

Alam sunyi, kehidupan rata.

Diam hatiku, jangan bercita,

Jangan kau lagi mengandung rasa,

Mengharap bahagia dunia Maya

Terbang termenung, ayuhai, jiwa,

Menuju kebiruan angkasa,

Kedamaian Petala Nirwana.

Kesadaran

Pada kepalaku sudah direka,

Mahkota bunga kekal belaka,

Aku sudah jadi merdeka,

Sudah mendapat bahagia baka.

Aku melayang kelangit bintang,

Dengan mata yang bercaya-caya,

Punah sudah apa melintang,

Apa yang dulu mengikat saya.

Mari kekasih, jangan ragu

Mencari jalan; aku mendahului,

Adinda kini

Mari, kekasih, turut daku

Terbang kesana, dengan melalui,

Hati sendiri

Pagi

Pagi telah tiba, sinar matari

Memancar dari belakang gunung,

Menerangi bumi, yang tadi dirundung

Malam, yang sekarang sudahlah lari.

Alam bersuka ria, gelak tersenyum,

Berseri-seri, dipeluk si raja siang.

Duka nestapa sudah diganti riang,

Sebab Sinar Bahagia datang mencium.

Mari, O Jiwa, yang meratap selalu

Dalam rumahmu, turutlah daku.

Apa guna menangisi waktu yang silam?

Mari, bersuka ria, bercengkerema

Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,

Di bawah langit yang seperti nilam.


Sumber:

http://www.soneta.org



posted by FerryHZ at 11:55 PM | Permalink |


0 Comments: