Sajak-sajak Sanusi Pane yang romantis
Sajak
Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.
Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dalam hikmat.Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani
Teratai
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun berseri Laksmi mengarang;
Biarpun ia diabaikan orang,
Teruslah, O Teratai Bahagia
Berseri di kebunBiar sedikit penjaga taman.
Engkau turut menjaga Zaman
Dalam Taj Mahal, ratu astana,
Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam nalam tiada berpadam,
Menerangkan cinta akan dunia.
Di
Di depan gapura kasih cinta
Jiwa menjerit, dicakra duka
Kepada Krisyna
Aku berdiri sebatang kara,
Tidak berteman, tidak berkawan,
Jiwa menjerit disayat rawan.
Hatiku kosong, tanganku hampa,
Tidak ada yang sudah tercapai
ku bermimpi di dalam tapa
Mengingat untung termenung lalai
O Krisyna tiadakanlah kembali
Meniup suling di tanah airku.
Jatuh ke dalam jurang gulita,
Wijaya Kesuma
Di balik gunung, jauh di
Terletak taman dewata raya,
Tempat tumbuh kesuma wijaya,
Bunga yang indah, penawar fana.
Hanya sedikit yang tahu jalan
Dari negeri sampai ke
Lebih sedikit lagi orangnya,
Yang dapat mencapai gerbang taman.
Turut suara seruling Krisyna,
Berbunyi merdu di dalam hutan,
Memanggil engkau dengan sih trisna.
Engkau dipanggil senantiasa
Mengikuti sidang orang pungutan:
Engkau menurut orang biasa.
Arjuna
Aku merasa tenaga baru
Memenuhi jiwa dan tubuhku;
Hatiku rindu ke
Tempat berjuang, perang selalu.
Aku merasa bagai Pamadi,
Setelah mendengar sabda Guru,
Narendra Krisyna, di Ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.
Tidak ada yang dapat melintang
Pada jalan menuju maksudku:
Menang berjuang bagi Ratuku.
Mahkota nanti di balik bintang
Laksmi letakkan d’atas kepala,
Sedang bernyanyi segala dewa.
Kembang Melati
Di bawah bintang tengah malam,
Buat menunjukkan betapa dalam
Cinta kasih memasuki hati.
Aku tidur menantikan pagi
Dan mimpi dalam bah’gia
Duduk bersanding dengan Dia
Di atas pelaminan dari pelangi
Aku bangun, tetapi mentari
Sudah tinggi di cakrawala
Dan pujaan sudah selesai
O Jiwa, yang menanti hari,
Sudah Hari datang bernyala,
Engkau bermimpi, termenung lalai.
Melati
Kau datang dengan menari, tersenyum simpul,
Seperti dewi, putih-kuning, ramping-halus,
Menunjukkan diri, seperti bunga yang bagus.
Dalam sinar matahari, membuat timbul
Di dalam hati berahi yang suci-permai.
Jiwa termenung, terlena dalam samadi,
O Melati, memandang kau seperti Pamadi,
Kebakaan kurasa, luas, tenang dan damai
Engkau tinggal sebagai bunga dalam taman
Kenang-kenangan: dipetik tidak ‘
Biar warna dan wangi engkau berikan.
Engkau seperti bintang di balik awan,
Terkadang-kadang sejurus berkilat-kilat
Tanah Bahagia
Ketanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cinta,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.
Bawa daku kebenua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan
Ingin jiwa pergi ke
Hatiku dibelah sengsara setiap hari,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.
O tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam duka cita engkau mematahari,
Pabila gerang tiba waktu bersua?
Majapahit
Aku memandang tersenyum arah ke bawah:
Jauh di
Seperti pulau dalam lautan awan.
Langit kelabu,
Alam muram.
Dan ke dalam hatiku,
Masuk perlahan
Rindu dendam.
Jiwaku meratap bersama jiwa
Gembala yang bernyanyi dalam lembah.
Ratap melayang bersama suara
Kedalam kemuraman
Kehilangan.
Candra
Berdiri lurus di atas reta bercaya,
Dewa Candra keluar dari istananya
Termenung menuju Barat jauh di
Panji berkibar di tangan kanan, tangan kiri
Memimpin kuda yang bernapaskan nyala;
Begitu dewa melalui cakrawala,
Menabur-naburkan perak ke bawah sini.
Bisikan malam bertiup seluruh bumi,
Sebagai lagu-merawan buluh perindu,
Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.
Bumi bermimpi dan ia mengeluh di dalam
Mimpinya, karena ingin bertambah rindu,
Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam
Candi Mendut
Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.
Kesadaran
Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku melayang kelangit bintang,
Dengan mata yang bercaya-caya,
Punah sudah apa melintang,
Apa yang dulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; aku mendahului,
Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dengan melalui,
Hati sendiri
Pagi
Pagi telah tiba, sinar matari
Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu
Dalam rumahmu, turutlah daku.
Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.