(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=void 0!=f?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(void 0==f)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=0=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; 0=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&0=b&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();

Friday, February 8, 2008
(NOVELKU: Bait Jayabaya): Bab 27

Bab sebelumnya dari bab yang telah saya upload. Total selesai = 390 halaman....

======================================================================


BAB 27

Kambing hitam


Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.

Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.

Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.

Wong mangan wong---Orang makan sesamanya

Bait 120, 121, 122 dan 123

Kediaman almarhum Markus Noto


Rumah Markus Noto memiliki puluhan ruangan. Semuanya memiliki ketenangan dan rahasia. Keduanya, ketenangan dan rahasia, membutuhkan penjaga dan keangkeran. Salah satu ruang, bekas tempat kerja Markus Noto memiliki ketenangan tertinggi. Dipisahkan dari ruangan lain oleh lorong panjang berbatas tembok, ruang itu menjadi semacam balai pertapaan. Dua penjaga di masing-masing ujung lorong membuat warna putihn temboknya semakin mengerikan. Bahkan suara anginpun serasa lain di ruangan itu.

Kini di ruangan itu telah berkumpul anggota lingkaran pusat keluarga Markus Noto. Sang bunda, Noto Adjie, Genduk putri dan teman terpercaya mereka, Bethoven.

“Biarkan mereka mendekat pada kita, bunda,” suara Noto Ajie membuka percakapan. Gemanya tertahan pelan oleh batu pualam dinding ruangan.

“Apa rencanamu?” tanya sang bunda.

“Kambing hitam. Kita butuh kambing.”

“Pembunuh, papamu?”

“Ya, bunda. Dan sekali langkah kita akan mendapatkan dua keuntungan.”

“Jelaskan maksudmu.”

“Kasak-kusuk tentang pembunuhan papa perlu dihentikan. Dan kita juga bisa mendekatkan Ganesya pada kita.”

Sang induk tersenyum. Memahami dengan jelas pada rencana putranya.

“Bagus, anakku. Bagus sekali.”

“Mendekatkan Ganesya. Bagaimana maksudmu?”

“Teman Jo, Bahar, dialah yang akan menjadi jawaban.”

“Dialah yang akan menjadi kambing hitam pembunuh papa…”

“Dan selanjutnya patung Ganesya akan mendekat ke arah kita.”

“Ya, bunda. Jo, profesor Sardono. Semuanya….”

“Bagus…bagus. Rencanamu selalu bagus…”

Percakapan itu akan menjadi bagian dari penentu masa depan Ganesya, yang saat ini telah lepas dari genggaman Jo. Dan keluarga almarhum Markus Noto belum mengetahui perkembangan itu. Nasib Bahar juga akan ditentukan oleh percakapan itu.

v

Topa dan Didik masih berada di depan rumah penampungan ketika Bahar tiba. Wajah Topa pucat. Didik bahkan lebih pucat dari Topa. Keduanya menghambur kearah Bahar dan menahannya tepat setelah Bahar keluar dari tikungan.

“Cak…”

Ada apa? Kenapa wajah kalian pucat?”

“Polisi, cak. Beberapa polisi mencarimu…”

“Kenapa? Mau apa mereka?”

“Mereka tidak bilang apa-apa, cak. Tapi aku menguping pembicaraan mereka di terminal tadi. Mereka mencarimu karena pembunuhan Markus Noto.”

Mata Bahar terbelalak. Siapapun pasti mengenal nama Markus Noto. Nama besar dan bisik-bisik tentang darah dinginnya mampu membikin bulu kuduk berdiri. Dan sekarang kenyataan kalau dirinya dihubungan dengan kematian Markus Noto membuat Bahar terkejut bukan kepalang. Bersentuhan dengan orang itupun dia tidak pernah. Terlalu jauh jarak dirinya dengan Markus Noto. Seperti tanah bumi yang terinjak dengan ujung langit.

Pengalaman terakhirnya dengan perintah-perintah Jo membuatnya menyadari adanya sebuah urusan besar. Meski Jo tidak berterus terang, dia tidak menyalahkan Jo. Dia yajin sahabatnya itu juga tidak menyadari adanya bahaya-bahaya lain yang sedang mengincarnya. Bahar tahu mereka sedang berurusan dengan sesuatu yang besar.

Tidak terlalu lama bagi Bahar untuk menyadari kalau dirinya sedang menghadapi masalah besar. Lingkaran disekeliling Markus Noto tentu telah membuat konspirasi sendiri. Entah apa tujuannya, yang jelas, konspirasi itu sedang mengincar dirinya untuk menjadi korban. Dia tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Kabur. Lingkran Markus Noto terlalu besar untuk dilawan.

“Pa, tolong masukkan semua pakaianku ke dalam tas,” Bahar mulai bertindak. Topa segera berlari ke dalam rumah. Dia emmahami tujuan Bahar untuk kabur.

“Dik, beritahu Jo kalau dia datang. Aku pergi entah sampai kapan. Aku akan hubungi dia nanti.”

“Siap, cak. Rencana sampeyan mau kemana?

“Pergi jauh dari sini dulu, Dik. Sebelum semuanya menjadi runyam, aku harus buat rencana. Lebih baik buron dan membuat rencana dulu.”

“Sampeyan gak terkait dengan mereka, kan Cak?”

“Markus Noto di Jakarta dan aku selalu menemani kalian di disini, di Surabaya. Masuk akalkah tuduhan mereka?”

“Iya, cak. Aku percaya..”

Topa keluar dengan tas ransel besar di tangannya. Langkah dan wajahnya tergesa. Bahar segera meraih dan memasangnya di belakang punggung. Sebelum berbalik, Bahar menarik kedua anak asuhnya mendekat padanya.

“Ingat pesanku, baik-baik. Jaga diri kalian dan sampaikan pesanku pada Jo. Aku akan menghubungi kalian semua, entah dengan cara bagaimana.”

“Ya, cak. Berhati-hatilah.”

Lalu Bahar berbalik dan segera pergi menuju arah jalan raya. Tapi terlambat baginya, baru tiga langkah berjalan, lima orang asing muncul mencegatnya. Bahar segera mengenali mereka sebagai polisi. Otaknya langsung bekerja cepat. Matanya berkeliling mencari lubang penyelamatan. Belum sempat berbuat banyak ketika salah seorang dari mereka berteriak.

“Angkat tangan !!!”

v

Kediaman Markus Noto

Pembicaraan nyonya Markus Noto dengan seseorang di kepolisian pusat.

“Sudah kau tangani perintahku?” Suara sang nyonya terdengar lembut, datar dan dingin. Khas seorang pembesar dengan ketenagnag yang teratur.

“Siap nyonya. Anak buah saya sedang menjemputnya.”

“Berapa orang?”

“Lima orang nyonya. Mereka orang-orang terbaik kami.”

“Kamu yakin mereka mampu menangani Bahar?”

“Kami punya catatan lengkapnya, nyonya. Termasuk catatannya selama berada di Nusa Kambangan,”

“Berikan catatan laporan selama dia berada di Nusakambangan. Akan menjadi catatan tambahan yang menguntungkan.”

“Segera, nyonya. Anak buah saya segera mengantarnya kesana.”

Klik. Sang nyonya memutuskan telepon dengan seenaknya.

v

Bahar mengangkat tangannya. Bukan hendak menyerah tetapi membetulkan tas ranselnya aga sedikit lebih turun kepunggung. Ada sedikit lega di hati para polisi itu. Bahar melihat mereka sedikit menurunkan senjatanya.

Tetapi para polisi itu salah duga, karena sedetik kemudian Bahar berbalik cepat ke arah pagar sungai dan melompat. Satu-satunya lubang penyelamatan yang masuk akal adalah sungai besar. Bukan ide yang bagus untuk beberapa orang, termasuk polisi-polisi itu karena derasnya sungai Kalimas bukan kepalang sekarang, setelah hujan deras dan limpahan air dari hulunya.

Memang tindakannya cukup mengagetkan. Polisi-polii itu terpana oleh kenekadan Bahar. Beberapa detik jeda yang menguntungkan buat Bahar. Karena dalam beberapa detik itu dia telah berada di dalam air bebas, lepas dari ikatan lumpur pinggiran sungai.

“Kejar dia !!!” sang komandan berteriak pada anak buahnya.

Tiga orang yang berada disisinya, semuanya berbadan tegap dan atletis, segera menceburkan diri ke sungai. Dua orang yang berada di atas mengarahkan moncong senjatanya mengikuti gerakan Bahar.

Bahar meluncur cepat mengikuti derasnya arus sungai. Cukup cerdik untuk memanfaatkan aliran sungai. Tiga orang pengejarnya baru berada di pinggir sungai. Satu terjungkal oleh pagar bantaran kali, satu terjebak oleh lumpur pinggiran dan hanya satu yang berhasil mencapai sungai dalam. Di samping dua moncong pistol yang mengarah padanya, praktis Bahar hanya memiliki satu lawan yang mengejar. Polisi yang berenang merasa kewalahan. Dia telah kehabisan tenaga setelah berenang beberapa saat. Berbeda dengan Bahar, dia menerjang lurus ke arah depan. Melawan derasnya arus Kalimas. Hanya beberapa saat sebelum dia memtuskan untuk menggunakan sisa tenaganya kembali ke tepian. Nafasnya tersengal-sengal hampir putus dan searang dia berjuang melawan derasnya arus menuju ke tepian. Melupakan Bahar untuk menyelamatkan sepotong nyawanya.

“Tembak sekarang, pak?”

“Jangan sampai meleset,”

Dor, dor !!! Pistol meletus. Dua bidikan pada saat bersamaan. Lalu di susul oleh beberapa tembakan lagi. Tubuh Bahar berguling. Oleh derasnya arus sungai dan hantaman tumpukan sampah. Sampah dan pekatnya air tiba-tiba berguling di sekelilingnya. Lalu tubuhnya menghilang di bawah gerombolan eceng gondok yang ikut bersama aliran air sungai. Dua polisi yang membidikkan pistol celingukan sambil bersandar pada pagar. Pistolnya masih berasap. Mereka tidak menangkap tubuh Bahar. Keduanya tersenyum. Tiga polisi yang lain masih sibuh di jebakan pekatnya lumpur. Yang satu terengah-engah setelah hampir tercabut nyawanya.

Di atas, beberapa meter dari pinggir pagar, Didik masih mendelik. Suaranya tercekat oleh rasa kagetnya. Topa menjerit melihat tubuh Bahar yang lenyap dan tak terlihat lagi. Lalu Didik menjerit. Hujan besar tiba-tiba datang. Jatuhnya menghantam atap seng rumah penampungan. Suaranya keras luar biasa, menenggelamkan jeritan Didik dan Topa.

v

Palembang sedang diselimuti awan. Tidak terlalu tebal tetapi cukup menciptakan banyak kegelapan di relung-relung kotanya. Losmen tempat Jo menginap terlihat redup. Cahaya lampu jalan tak mampu menembus pekatnya redup.

Pegawai losmen keluar dan berjalan menuju tengah kota. Jo berjalan mengikutinya. Bersembunyi dibalik redupnya langit Palembang. Pinggiran jalan dan rimbunnya pepohonan ikut menyamarkan keberadaanya. Jo merasa aman mengikuti lelaki kecil itu. Jo berhenti ketika lelaki itu menghentikan langkahnya lalu berbelok ke arah sebuah bangunan kecil Sebuah gardu ronda.

Jo masih tenang. Sampai ketika seorang lelaki kecil berkaki pincang muncul dari dalam gardu. Keduanya berbicara. Terlihat cukup akrab meskipun keduanya sambil berdiri. Tidak terlalu lama sebelum si pegawai losmen meneruskan langkahnya meninggalkan lawan bicaranya. Tetapi Jo memutuskan untuk tidak mengikuti pegawai losmen itu. Tetapi memutuskan untuk membuntuti lawan bicaranya, karena Jo mengenali lelaki itu.

Lelaki pincang anak buah Abah Syahid !!!

v

Kaliki memutuskan untuk segera pergi ke arah losmen. Jo sedikit terkejut, Kaliki sekarang menuju ke arahnya. Matanya segera mencari celah-celah persembunyian. Sebuah rumah kosong, berada di belakangnya. Jo segera menarik tubuhnya perlahan ke arah halaman rumah dan bersembunyi di balik gelapnya bayangan tembok. Cukup tersembunyi tetapi masih memiliki keleluasaan untuk melihat ke arah jalan. Tempat yang bakal di lalui oleh Kaliki.

Bayangan panjang Kaliki mulai terlihat, mendahului suara langkah kakinya yang terseret. Lalu beberapa detik kemudian tubuh Kaliki melintas didepan Jo. Hanya dua tiga meter dari tempatnya berdiri. Jo semakin meyakini kalau itu adalah lelaki pengikut Abah Syahid.

Perhatian Jo segera beralih ke tas yang berada di punggung lelaki itu. Kaliki menyandang tas di punggungnya. Meskipun gelap, tetapi Jo dapat mengenali tas punggung itu. Tas punggung yang selama hari-hari terakhir ini dipertahankannya mati-matian. Tas punggung Ganesya.

Jo tidak ingin kehilangan buruannya. Dia segera keluar dan berlari mengejar ke arah Kaliki yang belum menyadari kehadirannya. Jo telah berhitung, tidak akan butuh waktu lama untuk menaklukkan lelaki kecil yang jalannya setengah terseret itu.

Beberapa meter sebelum mencapai Kalili, Jo melompat berniat merangkul dan menjatuhkannya. Tubuhnya melayang deras menuju tubuh kecil Kaliki. Keyainannya cukup besar untuk dapat merebut tas punggungnya kembali.

Hanya beberapa detik sebelum sebuah halangan besar membuatnya terkejut bukan kepalang.


posted by FerryHZ at 11:45 PM | Permalink |


0 Comments: